Sudirman Said yang mengaku menjadi saksi dalam pertemuan 'rahasia' itu mengatakan dipanggil Jokowi ke Istana Presiden pada 6 Oktober 2015 sekitar pukul 08.30 pagi. Saat itu, dia mengaku kaget bila di ruang kerja Jokowi telah ada Jim Moffett.
"Saya dipanggil pagi-pagi, seperti biasa diminta ajudan datang ke Istana kemudian saya datang jam 08.30 pagi dan diminta ketemu. Akhirnya saya dibawa ke ruang kerja," kata Sudirman dalam blak-blakan bersama detikFinance, Jakarta, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Sudirman mengatakan bahwa seorang staf Istana mengatakan padanya bahwa pertemuan Presiden Jokowi dengan petinggi Freeport itu 'tidak ada'. Sudirman sendiri mengaku tak jelas maksud dari pertemuan 'tidak ada' tersebut.
"Nah itu yang menjadi di heboh sekarang itu kan, saya menjelaskan ya memang ada yang menyampaikan 'Pak Menteri pertemuannya tidak ada' begitu. Dan saya tidak pernah menyebut pertemuan rahasia ya. Presiden boleh memanggil siapa saja, kapan saja," ujarnya.
Sudirman sendiri mengaku tak lama berada di ruangan Jokowi, hanya 10 menit. Kemudian, kata Sudirman, dirinya diminta membuat sebuah surat oleh Jokowi. Setelah itu Sudirman pergi bersama Jim Moffett untuk membahas surat yang diminta oleh Jokowi.
"Tapi kemudian saya diberitahu ini sudah bicara dan minta tolong dibuatkan surat seperti yang dibutuhkan dia dan silakan dibicarakan suratnya. Nggak sampai 10 menit. Jadi saya lebih menerima instruksi untuk menyiapkan surat saja, tidak ada diskusi, tidak ada dialog, dan sesudah itu saya bersama Pak Moffett duduk hampir seharian di satu tempat untuk menegosiasikan draft itu," cerita Sudirman.
Sudirman mengatakan, surat yang diminta oleh Jokowi itu berisikan tentang keberlangsungan investasi Freeport di Indonesia. Namun dalam surat itu tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan bahwa kontrak Freeport di Indonesia diperpanjang.
Saat membahas surat tersebut, Sudirman Said mengaku ditemani oleh staf ahli. Sementara Jim Moffett ditemani pengacaranya.
"Dan dengan itu maka saya menyusun satu konsep yang oleh banyak pihak sebenarnya normatif saja, misalnya kata-kata, barangkali nanti bisa dicari di internet juga, bahwa Indonesia menjamin kelangsungan investasi, karena investasi dibutuhkan. Itu kan statement yang normatif," katanya.
"Kedua, kita sedang menata regulasi di bidang Minerba. Dan itu bukan hal yang salah karena memang waktu itu kita sedang menata regulasi. Ada rencana perbaikan PP, ada rencana revisi UU Minerba, segala macam. Kemudian poin ketiga kurang lebih, sambil menunggu ini silakan bersiap-siap melanjutkan rencana investasi," sambung dia.
Setelah membuat surat tersebut bersama Jim Moffett, pada hari yang sama Sudirman kembali menemui Jokowi.
"Surat itu yang disebut normatif itu sorenya saya tunjukkan ke Pak Presiden kan. Kalau nggak salah tanggal 6 juga. Karena suratnya kan besoknya. Nah, ini sebetulnya cerita ini sudah pernah diungkapkan berbagai media pada waktu itu. Jadi tidak ada yang kurang tidak ada yang lebih, itu lah kejadiannya," ujarnya.
"Jadi setelah selesai, draft itu dikirim ke Amerika segala macam untuk direview, dan mereka terjemahkan dalam bahasa Inggris. Jadi ketika saya berangkat ke, bahkan sebelum saya berangkat ke presiden, saya kembali ke kantor untuk meminta pandangan dari biro hukum, dari Sekjen, mereka mengatakan semuanya aman, nggak ada masalah. Baru saya ketemu presiden sorenya," tutur Sudirman Said. (fdl/dna)