Jakarta -
Perusahaan pembiayaan berbasis teknologi (fintech) di Indonesia berkembang begitu pesat. Baik dari sisi jumlah hingga jenis model bisnisnya semakin beragam.
Dari sisi transaksi kini nilainya bahkan sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Nilai itu harus diakui bahwa fintech berkembang cukup sukses di Indonesia, terlepas dari banyaknya polemik yang muncul.
Meski begitu, total transaksi dari fintech dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan total pembiayaan di Indonesia yang disebut mencapai Rp 1.900 triliun.
Kepala Subbagian Perizinan Fintech di Direktorat Pengaturan, Pengawasan, dan Perizinan Fintech OJK, Alvin Taulu mengatakan, hingga saat ini total transaksi dari industri fintech peer to peer (P2P) lending mencapai Rp 26 triliun.
"Dari peminjan yang sudah meningkat 17 kali, transaksi fintech sudah mencapai Rp 26 triliun," ujarnya dalam acara Diskusi Mikro Forum Mendorong Sinergi Lembaga Keuangan-Fintech di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Namun menurut Alvin jumlah itu masih sangat kecil untuk menutupi gap kebutuhan pendanaan di Indonesia yang mencapai Rp 1.000 triliun. Sehingga potensi fintech di Indonesia masih sangat besar.
Alvin mengatakan, total kebutuhan pendanaan di Indonesia mencapai Rp 1.900 triliun. Sementara dari perusahaan keuangan yang ada di Indonesia seperti perbankan hingga multifinance hanya bisa menutupi sekitar Rp 900 triliun.
OJK menilai hadirnya fintech bisa mengisi kebutuhan pendanaan dari masyarakat yang tidak memenuhi syarat perbankan. Untuk itu pihaknya tengah mengatur sambil menjaga pertumbuhan fintech di Indonesia.
"Saat ini sudah ada 99 perusahaan fintech yang terdaftar di OJK. Bisnisnya macam-macam, ada khusus pertanian, perumahan, UMKM. Bahkan ada yang khusus pulsa, khusus logistik. Berbagai macam dengan segmentasi market yang berbeda," ujar Alvin.
Hadirnya perusahaan pembiayaan online atau fintech di Indonesia tidak berjalan mulus. Sering kali fintech dikaitkan sebagai rentenir online karena dianggap menerapkan bunga yang tinggi dan cara menagih yang kasar.
Sejatinya para fintech memiliki kekhawatiran yang besar atas macetnya pembiayaan yang disalurkan. Apalagi nasabah yang ditargetkan adalah masyarakat di segmen bawah dengan besaran pinjaman yang sangat kecil.
Untuk menghindari hal itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan agar fintech bekerjasama dengan perusahaan asuransi. Agar lebih aman, fintech bisa mengasuransikan tagihannya.
"Fintech lending bisa menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi yang memiliki produk asuransi kredit. Mereka memiliki keahlian dalam menangani asuransi atas risiko kredit macet. Risiko pinjaman yang macet bisa dialihakan ke asuransi," kata Deputi Direktur Pengaturan Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan.
Munawar menambahkan, jika fintech mengasuransikan tagihannya, mereka tak perlu lagi agresif dalam melakukan penagihan. Jika melampaui batas tagihan yang ditetapkan, mereka bisa mencairkan klaim ke perusahaan asuransinya.
Menurutnya, Fintech juga seharusnya bisa bekerjasama dengan perbankan. Selama ini muncul pandangan bahwa fintech merupakan pesaing baru bagi perbankan.
"Karena segmennya beda. Fintech lending justru hadir untuk masyarakat yang tidak bankable dan yang membutuhkan layanan cepat yang tidak bisa disediakan oleh bank. Kami melihat banyak yang bisa disinergikan antara fintech dan bank," tambahnya.
Sebagai perusahaan digital seharusnya fintech memiliki inovasi yang tinggi sekalipun dalam penagihan, sehingga tidak harus menimbulkan masalah.
PT Esta Kapital Fintek misalnya, perusahaan ini punya strategi yang unik dalam menagih nasabahnya. Perusahaan ini menggunakan tenaga wanita dalam hal penagihan utang.
Managing Director Esta Kapital Fintek, Yefta Surya Gunawan mengatakan, mayoritas nasabah perusahaannya adalah emak-emak alias ibu-ibu rumah tangga. Menurutnya wanita jika ditagih oleh wanita juga akan lebih terbuka dan tidak bersifat defensif.
"Menurut kami kalau ditagih wanita kepada wanita lebih sungkan, mau ketemu dan bisa diajak berdiskusi bagaimana cara membereskan utang ini apakah direstrukturisasi," ujarnya.
Yefta mengatakan, salah satu kunci keberhasilan dalam menagih adalah nasabahnya mau berdiskusi dan terbuka. Sementara jika si penagihnya adala pria, menurutnya rata-rata wanita akan bersikap defensif.
"Bagi kami yang penting dia mau ketemu dulu, diskusi masalahanya apa. Jangan sampai hilang kontak. Sementara kalau ditagih pria biasanya wanita itu cenderung takut dan akhirnya kabur," tambahnya.
Siasat itu ternyata cukup ampuh. Rasio kredit macet Esta Kapital Fintek hanya 0,47% per Desember 2018. Sementara, lanjut Yefta, rata-rata rasio kredit macet fintech secara industri sebesar 1,45%.
Hingga Desember 2018 Esta Kapital Fintek juga sudah menyalurkan pendanaan sebesar Rp 33 miliar. Dana itu disalurkan kepada 10.400 nasabah yang semuanya merupakan emak-emak.
Halaman Selanjutnya
Halaman