Walau hanya lulusan SD, Sayudi memperlihatkan usahanya untuk sukses di Ibukota. Saat ini, warung dengan warna hijau kekuningan ini tersebar hampir di setiap sudut Jabodetabek.
Sayudi menceritakan masa kecilnya di Tegal. Kala saat masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar ia kerap membantu orang tuanya menjual dagangan ke pasar hingga bertani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pas usia kelas 5 SD itu saya bantu ibu saya setiap pagi saya harus pikul tempe, sebelum saya berangkat mesti ke pasar dulu antar tempe dan dulu didikannya keras," kata dia kepada detikFinance pekan lalu.
Bahkan, waktu itu ia sempat merasa sedih karena tak hanya sedikit memiliki waktu bermain. Sedangkan ia diminta untuk pergi ke sawah untuk ikut bertani.
Namun hal itu dianggap angin lalu karena ia mampu mengambil sebuah pelajaran dari sang orang tua.
"Orang tua saya bilang saya sih nggak bisa mewariskan harta, hanya bisa mewariskan ilmu kalau sudah nggak ada. Saya jug mesti ke sawah ngurus kuli-kulinya. Dulu sih anak kecil sakit hati sama didikan orang tua tapi saya sekarang merasakan didikannya benar," ungkap dia.
Selepas lulus SD, ia memutuskan untuk berhenti melanjutkan sekolah. Hal itu karena Sayudi merasa sudah mampu berdagang sendiri.
Saat menginjak usia 15 tahun, pria berkacamata ini memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Sebab, kakaknya telah terlebih dahulu memiliki usaha warteg di Jakarta.
Namun saat itu belum terpikir baginya berjualan warteg. Ia kala itu memutuskan untuk membuka kios kecil dan menjual rokok.
"Pindah umur 15 tahun ke Jakarta. Di sana ada pendampingan kakak kan jualan warteg. Tapi saya dagang rokok itu untung sebulan saya nikmati Rp 300 sampai 400 ribu besar sekali," ungkap dia.
Setelah beberapa tahun berjualan, di usia 21 tahun ia memutuskan untuk menikah. Kala itu baru ia terpikir untuk melebarkan jenis usahanya, yakni membuka warteg.
"Setelah saya married 21 tahun ingin ada income tambahan. Nah, pilihan kita warteg, kita pas nikah masih dagang rokok suami-istri. Selain itu, dagang rokok juga kendala di kantin," papar dia.
Akhirnya ia memutuskan untuk membeli warteg milik temannya dengan modal Rp 6 juta atau setengah dari besaran utamanya. Setelah mampu mendapatkan keuntungan ia pun melunasi sisa utangnya menjadi pemilik warteg seutuhnya.
Warteg pertamanya tak memiliki nama. Baru kemudian, warteg ketiganya ia beli nama Warteg Kharisma Bahari.
"Nggak ada nama yang pertama dan kedua. Baru ketiga saya kasih nama Kharisma agar menampilkan kebersihan kan sesuai namanya. Kalau bahari kan emang slogan Tegal," ungkapnya.