Direktur Niaga Garuda Indonesia, Pikri Ilham Kurniansyah menjelaskan, murahnya harga tiket pesawat di masa lalu sebenarnya adalah imbas dari perang tarif maskapai yang tengah berebut penumpang.
"Kemarin waktu 4-5 tahun lalu, yang terjadi di Indonesia over supply (kelebihan jumlah penerbangan). Sehingga airlines berebut penumpang. Sehingga (tarif) turun ke bawah. Semua main ke bawah kira-kira 40-50% dari TBA (tarif batas atas)," jelasnya saat ditemui di Kantor Pusat Garuda, Tangerang, Jumat (29/3/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Celakanya, tarif tiket pesawat yang murah itu dianggap sebagai harga tiket yang wajar oleh masyarakat. Di benak masyarakat, harga yang diberikan maskapai kala itu merupakan harga normal. Padahal, kata Pikri, harga itu merupakan harga setelah diberi potongan yang dilakukan para perusahaan penerbangan untuk menggaet penumpang.
"Di kepala penumpang itu adalah harga (normal). padahal itu adalah diskon yang diberikan maskapai," sambungnya.
Garuda Indonesia sebagai maskapai dengan pelayanan penuh alias full service airline sejak beberapa tahun ke belakang mempelopori untuk menghentikan perang tarif yang telah terjadi cukup lama di industri penerangan nasional.
"Ketika harga-harga sekarang ini naik semuanya, kan itu airlines berbenah. Garuda yang mempelopori sebagai price leader nggak mau lagi perang tarif," tegasnya.
Garuda tak lagi jor-joran memberikan diskon tarif pesawat dan menerapkan tarif tiket pesawat yang ideal. Namun rupanya, kondisi ini ditangkap masyarakat sebagai kenaikan harga sehingga memicu gelombang protes dari masyarakat yang selama ini sudah menikmati tarif tiket pesawat murah.
"Jadi kita mau infomasikan harga kita itu sesuai dengan Permenhub 14/2016. Nggak melanggar apapun dan nggak ada kenaikan sebenarnya. Hanya saja masyarakat merasakan kemarin merasakan di harga yang terlalu rendah," tandas dia. (dna/fdl)