-
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali dinobatkan menjadi Menkeu terbaik se-Asia Pasifik di tahun 2019 versi majalah FinanceAsia. Gelar ini menjadi yang ketiga kalinya dinobatkan kepada dirinya.
Walaupun begitu, tak semua orang setuju dengan penobatan gelar tersebut. Sri Mulyani mendapatkan kritikan keras dari berbagai ekonom.
Analis dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat Gede Sandra, meragukan penobatan gelar karena saat ini ada empat masalah ekonomi yang tengah dihadapi pemerintah. Pertama, yaitu pengelolaan surat utang di mana bunga yang ditetapkan menjadi paling tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Sebab, dengan bunga yang lebih tinggi membuat pemerintah mesti menggelontorkan uang yang lebih besar ketika jatuh tempo. Ia memberi contoh besaran utang yang mesti dibayar oleh pemerintah dengan besaran bunga 8% dan tenor 10 tahun jauh lebih besar 135% dibanding Vietnam.
"Surat utang kita tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bunganya 8%. Artinya kalau buat kita bisa rugi karena mesti membayar utang lebih mahal dari negara-negara di kawasan. Misalnya Vietnam itu 4,8% kalau dibandingin dengan tenor kita 10 tahun maka kita mesti bayar lebih mahal 135%," kata dia kepada detikFinance, Sabtu (6/4/2019).
Gede juga menyoroti besaran penerimaan pajak di Indonesia yang dinilai jauh lebih kecil dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Ia mengungkapkan saat ini pendapatan pajak Indonesia hanya sebesar 10-11% terhadap produk domestic bruto (PDB).
Ia pun membandingkan penerimaan pajak dengan Vietnam yang mencapai 13,8%, Thailand 17%, dan Filipina 14,4%. Angka penerimaan ini dianggap bisa menghambat pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, mengingat besaran bunga dan utang yang setiap tahun mesti dibayar.
Kemudian, Gede mengungkapkan saat ini defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) Indonesia merupakan yang paling besar mengalami pelebaran. Tercatat pada kuartal III tahun 2018 CAD melebar ke minus US$ 8,8 miliar.
Hal ini pun bisa membuat mata uang rupiah melemah sehingga berpotensi pada krisis keuangan. Sedangkan penguatan rupiah saat ini saja dinilai terjadi karena pemerintah gencar menarik surat utang dari pasar dengan bunga yang tinggi. Alhasil, pelaku pasar langsung menukarkan mata uang asing ke rupiah.
"Perlu diwaspadai, strategi menarik banyak utang berbunga tinggi ini untuk menjaga nilai tukar adalah sebuah bom waktu yang dapat meledak kapan saja di masa depan," ungkap dia.
Terakhir, ia mengungkapkan Net International Investment Position (NIIP) Indonesia menjadi yang paling negatif di Asia Tenggara. Dengan posisi tersebut, Indonesia dianggap bisa mengalami pengelolaan keuangan dan investasi yang merugi.
"Jadi aneh kenapa semua angkanya buruk, tapi malah dinobatkan jadi Menkeu terbaik," tutup dia.
Sebagai informasi, Sri Mulyani sendiri telah dinobatkan menjadi Menkeu terbaik versi majalah FinanceAsia selama tiga kali berturut-turut. Hal ini lantas membuat beberapa orang mengkritik penobatan atas dirinya mulai dari Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto hingga Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Ekonom dari Indef mengkritik gelar yang dinobatkan pada Sri Mulyani menurutnya ada beberapa hal yang menjadi indikator penilaian atas penobatan gelar tersebut. Pertama defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang menurun.
Hanya saja, kata Bhima, penurunan defisit bukan karena pengelolaan yang ideal. Melainkan dialokasikan ke belanja pemerintah jelang pemilihan umum (pemilu).
"Pertama kenapa defisit anggaran menurun? Karena pemerintah melakukan efisiensi. Ada yang dipotong, jelang pemilu subsidi dinaikin kembali. Berimplikasi terhadap dorongan dari belanja pemerintah subsidi anggaran masyarakat," kata dia kepada detikFinance, Sabtu (6/4/2019).
Alhasil, Bhima menilai hal tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan begitu daya beli maayarakat akan mengalami penurunan.
Kemudian, defisit anggaran juga dinilai dari alokasi ke pembangunan infrastruktur. Hanya saja, ternyata belanja pemerintahan meningkat dan menyebabkan postur APBN kurang produktif
"Masalahnya yang naik justru cukup tinggi itu belanja belanja yang sifatnya belanja konsumtif bukan infrastruktur, ada di belanja pegawai. Kemudian, belanja barang justru ini menunjukkan postur APBN kurang produktif," ungkapnya.
Selain itu, kreteria penilaian lainnya juga dilihat dari nilai tukar rupiah yang mengalami perbaikan. Padahal di balik itu terdapat penjualan surat utang dengan bunga yang tinggi mencapai 8%.
Bunga yang ditawarkan tersebut pun memiliki risiko di masa mendatang bila jatuh tempo.
"Dalam jangka panjang bunga yang 8% itu termahal se-Asia Pasifik. Bunga utang ini bisa berbahaya bagi APBN kita karena ruang fiskal kita semakin sempit sebagian sudah untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang. Nah ini yang kita pahami bahwa ada resiko juga," ungkapnya.
Terakhir, kreteria penilaian diambil dari pertumbuhan ekonomi yang terjaga dengan baik. Padahal, Bhima mengungkapkan sebenarnya pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dibanding negara tetangga.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata bisa menjadi jebakan di mana Indonesia tak akan menjadi negara maju.
"Faktanya kita mulai tertinggal dengan negara tetangga kita salah satunya adalah Vietnam yang pertumbuhannya diatas 6% kemudian juga Filipina yang sudah di atas 6%. Ini menandakan apa? Menandakan bahwa dengan ekonomi sebesar Indonesia kita hanya tumbuh 5% justru dikhawatirkan kita akan masuk ke dalam jebakan kelas menengah. 2030 kita nggak akan bisa jadi negara maju, jadi kita tidak akan maju sebelum kita mencapai usia yang kemudian tua," tutupnya.