Anggota Tim Ekonomi, Penelitian dan Pengembangan BPN, Harryadin Mahardika menilai salah satu penyebab kerugian Garuda Indonesia adalah menanggung tugas dari pemerintah. Grup Garuda Indonesia sering kali diminta untuk membuka penerbangan di rute-rute baru yang tidak menguntungkan.
"Rute-rute baru ini sebagian dibuka karena adanya bandara-bandara baru. Padahal demand di rute-rute tersebut belum proven (terbukti) bisa memberikan load factor minimum yang diperlukan untuk BEP. Misalnya, Citlink diminta untuk melayani rute via bandara Kertajati yang masih sangat sepi," terangnya saat dihubungi detikFinance, Senin (8/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BUMN yang persero juga punya kewajiban untuk untung. Kalau pemerintah memberikan penugasan, tentu saja harus dibarengi dengan subsidi atau mekanisme bantuan agar BUMN tersebut tidak merugi," tambahnya.
Harryadin menjelaskan salah satu bukti kondisi keuangan Garuda Indonesia memprihatinkan adalah sulitnya perusahaan mencapai Break Even Point (BEP). BEP sendiri adalah titik di mana pendapatan dan modal berada di posisi yang sama.
Menurut data Bloomberg yang dia tunjukan, Garuda Indonesia baru bisa mencapai BEP jika tingkat faktor muat penumpang (load factor) mencapai 121%.
Untuk mencapai load factor 121% tentu sesuatu hal yang tidak mungkin karena melebihi kapasitas penumpangnya. Sementara, menurut data Harryadin load factor Garuda Indonesia saat ini rata-rata 80%.
"Load factor 121% per-flight. Artinya impossible terpenuhi kecuali Garuda melakukan restrukturisasi keuangan," tambahnya.
Tonton juga video Sandi: Mau Cari Kerja Mudah? Tusuk Prabowo-Sandi: