RI Menjawab Tantangan 'Robot Gantikan Manusia'

Wawancara Kepala Bappenas

RI Menjawab Tantangan 'Robot Gantikan Manusia'

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Jumat, 12 Apr 2019 07:52 WIB
1.

RI Menjawab Tantangan 'Robot Gantikan Manusia'

RI Menjawab Tantangan Robot Gantikan Manusia
Foto: Dok. Bappenas
Jakarta - Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan struktur penduduk. Jumlah penduduk usia produktif yang berusia antara 15 sampai 64 tahun diperkirakan akan terus meningkat.

Menjelang 2030, jumlah penduduk usia produktif diproyeksikan mencapai 200 juta orang, atau sekitar 68% dari populasi, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan populasi usia produktif terbesar di Asia Tenggara.

Di satu sisi, perubahan struktur penduduk ini akan memberi peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun modal ini juga bisa menjadi pisau bermata dua jika SDM Indonesia tidak siap dengan peluang yang akan ada di masa depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlebih dengan fakta saat ini, di mana tenaga kerja Indonesia lebih banyak didominasi bekerja di sektor non formal atau unskill. Sementara industri 4.0 yang penuh dengan digitalisasi dan teknologi justru menginginkan tenaga kerja yang memiliki skill khusus.

Bagaimana persiapan Indonesia untuk menyiapkan tenaga kerja yang mumpuni menghadapi masa mendatang? Berikut wawancara eksklusif detikFinance dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bambang Brodjonegoro mengenai persiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi peluang pekerjaan di masa mendatang ini.
Bappenas akan kembali mengadakan forum pembangunan Indonesia yang kali ini membahas mengenai peluang pekerjaan di masa depan. Apa latar belakang dari tema ini?

Sebenarnya IDF (Indonesia Development Forum) ini memang ditargetkan untuk membahas topik yang mungkin tidak akan dibahas oleh sektor finansial atau sektor yang lebih terkait commercial and business karena kita hanya fokus ke isu pembangunan. Khususnya kita ingin sasar isu pembangunan yang inklusif.

Sehingga saat IDF pertama, saat itu isu pemerataan kelompok pendapatan jadi hal yang hangat sehingga IDF pertama temanya pemerataan antar kelompok pendapatan. Setelah itu kita melihat di Indonesia masih berat isu pemerataan pendapatan antar daerah/wilayah. Jawa dan luar Jawa, DKI dan luar DKI dan seterusnya.

Setelah isu pemerataan telah kita cover, selanjutnya kita angkat isu soal penyediaan lapangan kerja dalam upaya mengurangi pengangguran dengan penciptaan lapangan kerja. Isu ini kita angkat karena kita melihat, meski pengangguran kita turun tapi tingkat penurunannya belum cukup tajam. Jadi masih ada 7 juta angkatan kerja yang masih menganggur saat ini.

Kemudian yang bekerja pun mayoritas masih sektor informal, belum sektor formal. Padahal harusnya kalau negara yang sudah menuju maju, sektor formalnya yang lebih dominan.

Lalu, dari segi yang bekerja, lulusannya masih SMA ke bawah. Artinya masih didominasi oleh unskill labor. Padahal kita mau menghadapi industri 4.0 yang pasti menuntut kualitas dan spesialisasi. Sehingga pendidikan yang lebih tinggi itu menjadi kebutuhan.

Kemudian juga kita melihat bahwa yang jadi masalah di lapangan pekerjaan ini kadang-kadang bukan ada atau tidaknya lapangan kerja, tapi adanya ketidakcocokan atau miss match antara apa yang diperlukan pasar atau pemberi kerja dengan apa yang bisa disediakan oleh lembaga pendidikan.

Kadang-kadang dua ini tidak berkomunikasi sehingga apa yang dihasilkan akhirnya tidak bisa masuk. Contohnya kalau kita lihat pengangguran berdasarkan lulusan sekolah, salah satu yang paling tinggi lulusannya adalah SMK, bahkan lebih tinggi dari SMA. Artinya ada yang salah nih. Kenapa SMK yang harusnya lebih gampang cari kerja tapi malah lebih banyak penganggurannya dari pada SMA. Jawabannya adalah pasti dari masalah kurikulumnya.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah dan pemberi kerja untuk mengurangi hambatan pekerjaan di era industri 4.0?

Jadi di IDF meski judul besarnya penciptaan lapangan kerja, tapi kita masuk detail terutama mengenai pendidikan mulai dari tingkat umum, vokasi, menengah, tinggi sampai ke balai latihan kerja bagaimana meng-upgrade skill dari pekerja.

Topik ini juga menurut saya sangat tepat dibahas karena mulai dari 2019 ini pemerintah memberikan dorongan untuk kita lebih perhatikan sumber daya manusia (SDM). Dan SDM; meskipun kita sudah bahas kesehatan, pendidikan, kita memang belum spesifik bagaimana mendorong agar angkatan tenaga kerja kita itu bisa masuk ke pasar tenaga kerja.

Kurikulum kan sudah banyak berganti?

Mungkin yang dimaksud kurikulum yang sering berganti adalah pendidikan umum. Tapi pendidikan umum juga harus dapat perhatian khusus; tidak hanya vokasi, karena meskipun kurikulumnya berubah, tetapi memang harus ada perubahan yang lebih masiv. Dalam artian, sekarang kita harus benar-benar melihat apa yang jadi kebutuhan pasar.

Contohnya, saya tadi baru saja makan siang dengan salah satu dirut bank. Bank itu kan merekrut tenaga kerja dalam jumlah besar setiap tahun. Tapi belakangan ini jumlah rekrutmennya mulai menurun.

Karena, misalkan sekarang mereka tidak lagi butuh terlalu banyak teller. Nggak butuh lagi terlalu banyak tenaga operasional. Sekarang karena mereka lebih banyak menuju digital banking, belum lagi cyber security, mereka sekarang malah butuhnya programmer misalkan. Yang menarik, untuk pekerjaan umum di bank seperti teller tadi lowongannya tidak terlalu banyak tapi yang melamar banyak sekali.

Kenapa?

Karena banyak bidang studi yang akhirnya tidak jelas pekerjaannya mau ke mana. Sehingga akhirnya mereka ramai-ramai mau ke sini. Di sisi lain, lowongan untuk programmer yang cukup besar; karena kita memang masih banyak kurang, tidak diimbangi dengan applicant nya. Jadi pelamarnya itu bisa lebih sedikit dari lowongannya. Jadi kan harusnya langsung diterima. Tapi akhirnya kita harus bergantung kepada jasa luar, dari India atau negara lain untuk mendapatkan programmer yang dibutuhkan oleh start-up kita di bidang teknologi.

Jadi yang harus diperbaiki adalah miss match nya. Supaya miss match ini tidak terjadi, kurikulum harus di-upgrade. Selain kurikulum pendidikan umum, yang harus kita arahkan kepada science, technology, engineering, and math. Ini harus diperkuat. Karena itu kebutuhan pasar sekarang. Dengan digitalisasi, industri 4.0, penguasaan akan bidang ini menjadi harus. Sehingga kita butuh orang-orang yang tidak hanya lulus dari bidang ini tapi juga punya kemampuan.

Di bidang vokasi sama juga ceritanya. Di bidang vokasi, sering terjadi ketidakcocokan bidang. Artinya banyak pendidikan vokasi yang menjalankan kegiatan rutin seperti jurusan pada umumnya yang sudah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama, mereka jurusannya itu-itu saja. Padahal untuk menyambut industri 4.0, mungkin SMK sudah harus mengajarkan graphic design. Tapi dia masih berkutat di bangunan misalnya. Padahal kita butuhnya di graphic design, nah ini yang belum terakomodir.

Dari segi bidang kadang-kadang belum terakomodir, lalu dari konten kurikulumnya. Kalau kurikulumnya masih berat pada pengajaran di kelas; tatap muka, kita nggak bisa bayangkan caranya orang ini survive di pasar kerja. Apalagi peralatan yang ada di SMK juga out of date. Sehingga apa yang diajarkan; meski dia menguasai, alat itu nggak dipakai lagi in real world. Sehingga saat dia masuk ke pasar kerja, dia juga kesulitan untuk bisa adaptasi cepat.

Jadi, kalau saya di kurikulumnya nanti, kita bicara komposisinya, mungkin kita harus perbanyak internship atau magang. Bahkan kalau di Jerman, 1 semester di sekolah, 1 semester di pabrik. Dan yang magang, bukan hanya muridnya, gurunya juga. Dan kalau pun magang, dia nggak bisa cuma magang tapi nggak ada supervisornya. Karena dia cenderung mengerjakan cuma apa yang disuruh orang. Padahal dia magang kan ada tujuannya, untuk memperkuat keterampilan atau spesialisasi.

Jadi kalau dia magang, perusahaan tempat magang harus punya semacam pembimbing atau supervisor untuk cek apakah anak ini sudah ikuti program pendidikan dengan benar. Sekarang ini kurikulumnya belum sampai ke sana. Magang ada, tapi tidak ideal. Dan kita juga harus mendorong partisipasi swasta. Pabrik merekrut magang di Indonesia itu masih dianggap cost atau biaya. Padahal harusnya itu investasi. Artinya dia bisa persiapkan calon tenaga kerja buat dia dari sejak belum di-hire. Nanti setelah sudah terlatih, tinggal rekrutnya gampang. Retraining tidak perlu lagi.

Jadi pengertian kurikulum di sini kita tidak berdebat isi mata kuliahnya, tapi lebih ke proporsi; berapa dia seharusnya lebih terekspos ke lapangan dibandingkan di kelas.

Ada perubahan investasi dari pemerintah dengan adanya perubahan kurikulum tadi?

Harus. Karena alatnya pun harus diupgrade. Alat di sekolah ini harus up to date dengan teknologi terbaru. Artinya jangan sampai di sekolah diajarkan seperti ini, kemudian di pekerjaannya teknologinya yang dia tidak mengerti.

Investasi harus tetap dilakukan. Pertama, soal peralatan. Sekolahnya mungkin masih perlu. Tapi yang penting itu guru. Guru itu harus diupgrade. Bisa dengan retrainingnya, atau gurunya dibiasakan juga magang secara teratur. Jadi jangan sampai guru itu pakai ilmu yang sama terus untuk mengajar sampai dia pensiun. Jadi alat, sekolah, gurunya, dan kita ingin dorong supaya guru di kelas; terutama yang SMK atau sekolah teknik, itu tidak harus orang yang sekolah guru. Kita akan dorong selain guru, instruktur. Misalkan pensiunan dari pabrik tekstil, bisa mengajarkan vokasi mengenai permesinan. Intinya kita akan lebih memberdayakan instruktur dan itu jadi bagian dari investasi pemerintah.

Tema acaranya kan Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif. Apakah ada kekhawatiran Indonesia tak bisa manfaatkan peluang pekerjaan di masa depan?

Saat ini dengan adanya revolusi industri 4.0, yang berkembang di publik adalah seolah-olah ini akan menghilangkan sekian lapangan pekerjaan karena digantikan oleh mesin. Sehingga orang menganggap ada mission impossible, bagaimana kita orang-orang yang sudah sekolah ini bisa tetap bekerja dan menurunkan pengangguran.

Sekarang ini pengangguran kita sekitar 5,34%, kita ingin pengangguran kita 2045 di level 2% misalkan. Jadi harus ada upaya menurunkan. Kita berusaha membuat ini possible dengan me-matching-kan antara apa yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan bagaimana bentuk kurikulum atau sistem pendidikannya sehingga lulusannya bisa langsung masuk ke pasar kerja tanpa harus ada lagi uptraining, retraining dan segala macamnya.

Soal STEM tadi, apakah artinya pemerintah lebih konsen untuk penyediaan tenaga kerja dari jurusan ini?

Pemerintah harus mengubah paradigma pendidikannya. Kita itu terus terang kekurangan insinyur. Insinyur saja kurang padahal sudah ratusan ribu. Dari sekitar 600-700 ribu insinyur yang ada, yang benar-benar bekerja sebagai insinyur itu cuma 5 ribuan. Yang lain sudah di bidang lain. Padahal kita butuh orang-orang yang tetap di bidangnya, profesional di bidangnya, sehingga dia bisa menciptakan inovasi untuk kemajuan di sektor tersebut. Bukan hanya sekedar dapat gelar sarjana.

Intinya kita ingin mengarahkan agar orang-orang Indonesia itu mulai berpikir mengenai masa depan. Pertanyannya, bagaimana dengan orang-orang yang terlanjur bidangnya sudah di mana misalnya. Di dalam rencana pembangunan kita, kita akan mendorong yang namanya rescalling (dari tidak mengerti jadi mengerti), upscalling (ditingkatkan), satu lagi lebih ke refresh atau update. Ini membutuhkan kerja sama dari balai latihan kerja. Jadi institusi balai pelatihan vokasi itu juga harus didorong, tidak hanya pendidikan.

Terkait dengan kurikulum, orientasi kita untuk pendidikan vokasi nanti bukan hanya ijazah nya. Tapi kalau tanpa sertifikasi kompetensi, orang akan nanya bisanya apa, spesialisasinya apa. Kalau dijawab semua apa aja bisa, bagi pemberi kerja, bagi yang ngomong semua apa saja bisa, itu artinya orang itu nggak bisa apa-apa sebenarnya, karena terlalu general. Tapi kalau ada sertifikasi kompetensi selama sekolah, misalnya 3 atau 4, itu lebih gampang direkrut. Jadi ini paradigma yang harus kita ubah, menghilangkan kekhawatiran orang terhadap industri 4.0 yang nggak bisa ditahan lagi ini.

Dorong penciptaan lapangan kerja nggak lepas dengan masuknya investasi. Investasi asing termasuk yang sedang gencar kita genjot. Ada kekhawatiran masuknya TKA lebih banyak dibanding penyerapan dalam negeri, terutama tenaga ahli?

Kalau didominasi tidak, tapi untuk beberapa bidang mungkin awalnya akan asing dulu. Tapi yang penting asing ini hanya untuk yang benar-benar tenaga kerja Indonesia tidak bisa. Tidak akan mendominasi sampai ke bidang-bidang yang tidak butuh skill tertentu. Makanya kita harus cepat dengan pendidikan vokasi dan umum yang lebih terarah.

Karena ketika investor asing masuk dengan teknologi maju yang dia punya, ada dua kemungkinan. Pertama, dia bawa tenaga kerja dari negeri dia sendiri. Contohnya saja saat pertama kita ngundang investor migas, itu karena insinyur perminyakan masih sedikit di Indonesia, jadi banyakan orang asing yang masuk. Makanya kalau kompleks rumah perminyakan, itu pasti banyak yang gaya barat karena didominasi oleh mereka. Kedua, pakai robot atau automasi.

Ini yang harus kita antisipasi. Kita harus lihat dari supply nya yang datang dari dunia pendidikan atau balai pelatihan. Dan dibentuknya nggak bisa setahun, butuh bertahun-tahun untuk bisa menghasilkan yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar.

Untuk automasi, skill orangnya harus kita angkat dari yang biasanya cuma operating mesin ke supervisornya. Karena bagaimanapun rumitnya mesin atau sistem yang dipakai, tetap harus ada yang ngawasin.

Kurikulum yang mau dirombak tadi apakah artinya porsi alokasi APBN untuk pendidikan akan ditambah?

Sebenarnya sudah terefleksi di APBN 2019 dan lebih terfleksi lagi nanti di APBN 2020. Di satu sisi kita ingin perubahan yang mendasar, tapi di satu sisi kita juga harus cepat concerningnya. Jadi anggaran bertambah, dilarikan untuk pengembangan vokasi yang lebih banyak. Baik melalui DAK untuk daerah, politeknik yang diperkuat baik negeri maupun swasta, dan perbanyak balai latihan kerja (BLK) atau training centre. Karena waktunya pendek, kita harus cari apa quick win yang bisa kita lakukan, termasuk penyediaan instruktur yang pengalaman.

Bahkan mulai dipikirkan juga, mungkin magang di Indonesia saja tidak cukup tempatnya dan tidak ngejar teknologinya mungkin. Kita juga mulai pikirkan magang luar negeri, baik bagi peserta yang lewat jalur training maupun education. Karena bagaimanapun mereka harus terekspos dengan teknologi baru.

Perubahan kurikulum apakah ada payung hukum baru nantinya?

Nanti akan di bawah Menteri Pendidikan, Pada intinya nanti akan ada Komite Nasional untuk pendidikan vokasi ini, dan berikan arahan bagaimana kurikulum ini disesuaikan. Yang penting kurikulum harus nyambung dengan kebutuhan pasar. Jadi memang Kementerian Pendidikan dan Ketenagakerjaan harus lebih sering-sering ngobrol supaya masing-masing dapat sense dari yang dibutuhkan dan disiapkan.

Implementasi sudah mulai ada soal kurikulum yang diinginkan tadi?

Sudah mulai. Kita juga arahkan agar SMK ini sesuai dengan bidang prioritas di daerahnya. Dan semua tidak hanya bidang industri, termasuk misalnya pariwisata. Pariwisata ini kan sekarang unggulan, tapi kalau kita bicara soal sekolahnya ternyata dulu cuma 1 yang ada, yaitu di Bandung, yang NHI itu. Sekarang sudah ada enam. Dan enam ini semuanya ada di daerah tujuan wisata. Itu contoh-contoh bahwa sekolah ini berdasarkan prioritas di daerahnya. Sekaligus kita mengurangi pengangguran di daerah dan mencoba mengajak warga daerah ikut investasi di bidang pariwisata.

Pesan untuk generasi muda supaya nggak khawatir akan peluang pekerjaan di masa depan?
Pesannya adalah mereka harus terus berupaya menjadi yang terbaik di bidangnya, karena saya percaya siapa pun yang berusaha terbaik di bidangnya tidak akan sulit mencari pekerjaan.

Kedua, mereka harus mulai selektif dalam memilih bidang-bidang yang akan mereka tekuni. Artinya mereka tahu bahwa bidang tersebut adalah yang menjadi kebutuhan di market. Dan tadi sudah dikatakan, bidang-bidang yang terkait STEM tadi menjadi prioritas. Jadi jangan menjadi yang terlalu generalis, mulai menjadi yang spesialis.

Ketiga, jangan underestimate yang vokasi. Karena sudah banyak cerita bahwa mereka yang berpendidikan vokasi punya potensi jadi wirausaha dan bisa jadi orang kaya. Misalkan jadi chef nggak perlu sarjana. Itu yang kita butuhkan dari anak muda Indonesia.

Terakhir, jangan takut untuk jadi wirausaha. Indonesia ini kalau ditanya apa yang defisit di Indonesia, yaitu wirausaha. Kalau pekerja profesional, meski belum ideal, tapi relatif banyak. Tapi yang wirausaha masih kurang.

Untuk generasi yang sekarang yang angkatan kerja lama tapi masih banyak yang menganggur?

Kuncinya yaitu tadi di rescalling dan upscalling tadi. Artinya dia tidak boleh segan-segen untuk pelajari sesuatu yang baru. Intinya harus tidak boleh segan untuk meng-upgrade dirinya. Dan satu lagi, kalau baru lulus harus dari bekerja apa saja. Artinya jangan terlalu memilih dalam bekerja selama kesempatan kerja ada. Tapi ketika dia sudah bekerja, dia harus punya suatu kelebihan dibandingkan pekerja yang lain. Ya hukum persaingan biasa, tapi yang paling penting orang itu dapat kerja dulu.

Dari sisi demandnya juga harus dilihat. Kita juga harus bicara investasi. Karena siapa yang bisa ciptakan lapangan kerja kalau bukan dari investasi? Jadi kita juga akan bicara di IDF ini bagaimana investasi ini bisa menciptakan lapangan kerja. Kadang-kadang penciptaan investasi untuk lapangan kerja tidak langsung, terutama untuk pabrik-pabrik yang pakai automasi. Saya masih melihat, efisiensi yang ditimbulkan dari industri 4.0 tadi akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi dan itu akan menciptakan lapangan kerja. Jadi sebenarnya kalau dari suatu studi mengenai dampak industri 4.0 terhadap lapangan kerja, bahwa nantinya akan orang akan banyak kehilangan lapangan pekerjaan, ternyata kesimpulannya surplus. Justru akibatnya menciptakan potensi lapangan pekerjaan di berbagai bidang yang jumlahnya lebih besar dari jumlah pekerjaan yang hilang.

Kurikulum dan arahnya. Kalau kita nggak berani mengatakan bahwa STEM jadi prioritas, menurut saya kalau ada universitas baru muncul; meski kita juga sudah kebanyakan universiitas, langsung saja bilang misalnya 70-80% program studinya harus terkait STEM. 20% boleh ekonomi, sosial, hukum, tapi 80% nya harus STEM. Kalau sekarang insinyur saja masih kurang, itu artinya kita belum mengarah ke STEM. Terlebih universitas kita kebanyakan. Isinya ya bidangnya itu-itu lagi. Bukan mau mengecilkan bidang ilmu lain, tapi itu bidang ilmu yang belum menjadi arus permintaan di masa depan untuk pasar kerja.

Kita juga sekarang sedang dalam masa bonus demografi. Jadi dari segi komposisi penduduk, ini yang paling ideal. Kalau kita mau ubah struktur penduduk kita jadi yang siap bekerja di era 4.0, ini eranya. Karena penduduk usia mudanya banyak. Dan ini yang bisa dilatih untuk menghadapi industri 4.0. Bonus demografi mulainya 2010 kemarin, puncaknya di 2022. Nanti balik lagi kita aging, itu sekitar 2040. Makanya SDM harus jadi perhatian, termasuk demandnya juga dari sisi penambahan investasi.

Hide Ads