Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600. Cukup fantastis, dalam waktu tiga bulan perusahaan bisa menutupi kerugian itu dan bahkan meraup laba.
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menilai memang ada yang aneh dari laporan keuangan Garuda Indonesia 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat, beban perusahaan dibandingkan dengan pendapatan memang lebih besar. Total pendapatan usaha Garuda Indonesia di 2018 US$ 4,37 miliar sementara total beban usaha US$ 4,58 miliar.
Nah, keuangan Garuda terselamatkan dari pos pendapatan usaha lainnya yang totalnya mencapai US$ 306,88 juta. Padahal di 2017 di pos ini justru ada beban US$ 15,7 juta
"Pendapatan lain lain cukup signifikan sehingga laba jadi positif," ujarnya.
Pendapatan lain-lain itu ternyata berasal dari transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia. Transaksi ini masih bersifat piutang, namun dalam laporan keuangan 2018 dimasukan sebagai pendapatan.
Manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang di antaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari Sriwijaya Air.
"Tentunya kita mempertanyakan apakah pendapatan lain-lain ini akan terus berulang?" ujarnya. (das/ara)