Persoalan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang membuat pembayaran klaim obat tersendat juga ikut menjadi beban.
Sejak akhir 2018, gejolak ekonomi mulai membaik. nilai tukar rupiah kian menguat. Hal ini tentu menjadi sentimen positif bagi industri farmasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi, hal itu tidak serta merta membuat produsen obat-obatan di dalam negeri bernapas lega. Sebab industri ini masih dipengaruhi harga minyak dunia.
"Bila ke depan harga minyak dunia memperlihatkan tren meningkat, lagi-lagi beban biaya akan naik. Jadi, penguatan nilai tukar, tidak akan signifikan mengurangi beban biaya perusahaan, bila harga minyak dunia merangkak naik," terangnya dalam keterangan tertulis, Senin (6/5/2019).
Lucky menjelaskan, penguatan nilai tukar hanya akan mampu menutupi beban biaya akibat kenaikan harga minyak dunia. Bila harga minyak tidak mengalami kenaikan, penguatan nilai tukar rupiah akan sangat membantu produsen obat-obatan membukukan kinerja positif sepanjang 2019
Faktor lainnya yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh industri farmasi adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan pembengkakan defisit yang dialami BPJS kesehatan. Sebab hal itu akan sangat mempengaruhi rantai pasokan dan alat kesehatan bagi pengguna BPJS, yang menjadi pembeli terbesar obat-obatan di dalam negeri.
Baca juga: Dolar AS Masih Betah di Rp 14.290 |
"Saat ini ada beberapa jalan keluar yang di tengah dikaji oleh pemerintah diantaranya memberlakukan urun biaya yakni tambahan biaya bagi peserta untuk rawat jalan dan rawat inap, sehingga tidak semua biaya ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini BPJS," tambahnya.
Kebijakan penyelamatan BPJS Kesehatan menjadi hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh produsen obat-obatan, karena berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri farmasi. Bila melihat faktor makro, perusahaan farmasi masih memiliki potensi pasar yang cukup besar dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih tinggi. Pemerintah pun dalam anggaran selalu menjaga alokasi budget untuk kesehatan sebesar 5% dari total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), setiap tahunnya.
Dalam APBN 2019, pemerintah mengalokasikan total anggaran kesehatan sebesar Rp 123,1 triliun atau naik sekitar 10% dibanding belanja kesehatan tahun lalu. Salah satu pos belanjanya akan digunakan untuk meningkatkan jumlah masyarakat yang mendapat program Kartu Indonesia Sehat, yang ditargetkan mencapai 96,8 juta jiwa. Demi mengurangi impor, pemerintah juga telah merelaksasi daftar negatif investasi (DNI) untuk industri farmasi obat jadi dan industri alat kesehatan.
Potensi pasar domestik yang masih terbuka lebar ini, sebenarnya sangat disadari oleh produsen obat-obatan seperti PT Kimia Farma, PT Kalbe Farma, Biofarma, Darya Varia dan lainnya. Beberapa perusahaan farmasi bahkan melakukan pertumbuhan secara non- organik, diantaranya PT Kimia Farma yang baru saja mengakuisisi 57% saham PT Phapros Indonesia senilai Rp 1,361 triliun, untuk meningkatkan pangsa pasar Kimia Farma sekaligus memperluas jaringan distribusi. (das/hns)