(ULN) Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan pada kuartal I 2019. Dari data statistik ULN Bank Indonesia ULN mencapai lebih dari Rp 5.000 triliun.
Disebutkan dalam komposisi tersebut ada ULN pemerintah dan ULN swasta. Masing-masing meningkat setiap bulan dan setiap triwulan. Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 190,5 miliar atau Rp 2.724,1 triliun.
Kemudian, utang swasta termasuk badan usaha milik negara (BUMN) US$ 197,1 miliar Rp 2.818,5 triliun. Mau tahu berapa dan apa saja penyebab bengkaknya ULN Indonesia ini? Berikut berita selengkapnya:
Pada kuartal I ULN Indonesia mencapai US$ 387,6 miliar atau setara dengan Rp 5.542,6 (kurs Rp 14.300).
Angka ini tumbuh 7,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya akibat adanya transaksi penarikan neto ULN dan pengaruh penguatan rupiah terhadap dolar AS.
"Sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS. Peningkatan pertumbuhan ULN ini terutama bersumber dari ULN sektor swasta, di tengah relatif stabilnya pertumbuhan ULN pemerintah," tulis keterangan tersebut dikutip, Jumat (17/5/2019).
Berdasarkan keterangan BI, utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 190,5 miliar atau Rp 2.724,1 triliun. Sementara itu utang swasta termasuk badan usaha milik negara (BUMN) US$ 197,1 miliar Rp 2.818,5 triliun.
Sementara itu untuk ULN pemerintah tercatat US$ 187,7 miliar atau tumbuh 3,6%, stabil dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya 3,3%.
Untuk utang swasta pada akhir kuartal I 2019 tumbuh 12,8% meningkat dibandingkan pertumbuhan kuartal sebelumnya 11,3%. ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara, serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa ULN di keempat sektor tersebut total ULN swasta mencapai 75,2%.
"Struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN jangka panjang yang pangsanya 86,1% dari total ULN," tulisnya.
Dari data BI ULN pemerintah tercatat US$ 187,7 miliar atau tumbuh 3,6%. Sementara itu untuk ULN swasta US$ 197,1 miliar tumbuh 12,8% dibandingkan kuartal sebelumnya.
BI menyebut pertumbuhan ULN pemerintah terjadi karena adanya kenaikan arus masuk dana investor asing di surat berharga negara (SBN) domestik dan penurunan outstanding SBN dalam valuta asing (valas) sejalan dengan pelunasan global bonds yang jatuh tempo pada Maret 2019.
"Pengelolaan ULN Pemerintah untuk membiayai pembangunan dengan porsi terbesar yakni sektor jasa, kesehatan dan kegiatan sosial, sektor konstruksi, sektor jasa pendidikan, sektor pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial serta jasa keuangan dan asuransi," tulis keterangan BI, dikutip Jumat (17/5/2019).
Kemudian untuk ULN swasta yang tumbuh lebih tinggi didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara serta pertambangan dan penggalian. Pangsa ULN keempat di sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 75,2%.
"Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir triwulan I 2019 yang relatif stabil sebesar 36,9%," ujarnya.
Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1% dari total ULN. Dengan perkembangan tersebut, meskipun ULN Indonesia mengalami peningkatan, namun masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat.
Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Dari data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) negara yang paling banyak memberikan utang ke Indonesia adalah pertama Singapura yakni sebesar US$ 64 miliar, kemudian diikuti oleh Jepang US$ 29,01 miliar, lalu Amerika Serikat (AS) 21,3 miliar.
Kemudian berikutnya adalah negara Cina US$ 17,9 miliar, selanjutnya Hong Kong US$ 15 miliar dan negara Asia lainnya US$ 10,4 miliar.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis data utang pemerintah pusat per April 2019. Dalam catatan Kemenkeu utang pemerintah naik Rp 347,48 triliun dalam setahun, dari Rp 4.180,61 triliun pada April 2018 menjadi Rp 4.528,45 triliun.
Berbahayakah utang pemerintah naik hingga ratusan triliun dalam setahun? Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati peningkatan utang tersebut tergolong berbahaya karena tak diimbangi produktivitas.
"Berbahaya pasti lah karena tidak meningkat produktivitasnya," terang Enny saat berbincang dengan detikFinance, Jumat (17/5/2019).
Bukti tidak produktif tersebut menurut Enny tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5%. Sebab, ia menilai angka tersebut juga dapat diperoleh tanpa adanya penambahan utang pemerintah.
"Pertumbuhan ekonomi itu stagnan masih 5% itu ada ketidakoptimalisasi stimulan fiskal yang mendorong. Ekonomi natural dengan penduduk 260 juta jiwa juga akan tumbuh 5% dengan sendirinya," jelas Enny.
Selain itu, ia juga menyoroti realisasi utang yang meningkat paling besar digunakan untuk belanja pegawai atau barang. Padahal, untuk meningkatkan produktivitas utang sebaiknya lebih banyak digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.
"Kita lihat utang masuk ke anggaran pemerintah, dan yang sangat signifikan bukan belanja modal atau infrastruktur tapi belanja pegawai atau barang. Kita bingungkan kan era Jokowi kan baru gaji PNS baru naik tapi porsi belanja pegawai yang signifikan dari empat tahun ini," tutur Enny.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan pada dasarnya meningkatnya utang yang terjadi masih dalam batas wajar. Sebab telah direncanakan sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat dibayarkan.
"Utang sudah direncanakan sesuai kebutuhannya dalam APBN. Sehingga setiap pembiayaan melalui utang sudah diperhitungkan kemampuan bayarnya, jumlahnya dan juga sisi risikonya. sejauh ini, masih dalam kondisi aman," ujar Nufransa kepada detikFinance (17/5.2019).
Selain itu, pria yang akrab disapa Frans ini juga menilai batas wajar utang berdasarkan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebab, rasio utang saat ini masih berada di angka 29% jauh dari batas 60%.
"Utang sudah diatur dalam UU, di mana batas maksimal yang diperbolehkan dalam UU adalah 60% dari GDP. Sampai saat ini, utang Indonesia masih di seputaran 30% dari GDP. Jadi masih sangat jauh dari batas yang diperbolehkan," tutup dia.
Total utang pemerintah pusat hingga akhir April 2019 mencapai Rp 4.528,45 triliun. Angka lebih tinggi dari posisi yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 4.180 triliun.
"Posisi utang pemerintah di level 29,56% di bawah 30%. Outstanding utang turun Rp 38,8 triliun dibandingkan Maret tahun ini satu bulan turun Rp 38 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2019).
Jika dirinci, utang pemerintah yang sebesar Rp 4.528,45 triliun itu terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 780,71 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp 3.747,74 triliun.
Pinjaman yang sebesar Rp 780,71 triliun itu terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 773,98 triliun dengan rincian, pinjaman bilateral Rp 319,67 triliun, multilateral Rp 415,68 triliun, komersial Rp 38,64 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negerinya sebesar Rp 6,73 triliun.
Untuk SBN yang sebesar Rp 3.747,74 triliun, terdiri dari denominasi rupiah Rp 2.735,78 triliun dengan rincian SUN Rp 2.260,50 triliun, SBSN Rp 462,95 triliun.
Selanjutnya, denominasi valas sebesar Rp 1.011,96 triliun dengan rincian SUN Rp 759,89 triliun dan SBSN sebesar Rp 216,07 triliun.