Jakarta -
Garuda Indonesia didenda oleh Mahkamah Federal Australia. Maskapai pelat merah ini dinyatakan terlibat dalam kartel penetapan tarif. Hal ini disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Australia.
Garuda Indonesia didenda sebesar 19 juta dolar Australia setara Rp 189 miliar (asumsi kurs Rp 9.948 per dolar Australia atau US$ 13,2 juta).
Lantas bagaimana ceritanya hingga Garuda didenda? Apa penjelasan pihak maskapai atas hal tersebut? Simak informasi selengkapnya berikut ini.
Dikutip detikFinance dari Reuters, Jumat (31/5/2019), dalam prosesnya pengadilan menemukan bahwa antara tahun 2003 dan 2006, Garuda Indonesia setuju untuk melakukan kesepakatan yang menetapkan harga keamanan dan biaya tambahan bahan bakar.
Selain itu, Garuda Indonesia disebut setuju dan melakukan kesepakatan terhadap biaya bea cukai dari Indonesia.
Atas hal tersebut, Garuda Indonesia didenda sebesar 19 juta dolar Australia setara Rp 189 Miliar (asumsi kurs Rp 9.948 per dolar Australia atau US$ 13,2 juta).
Selain Garuda Indonesia, ada juga maskapai lain berjumlah 14 maskapai yang didenda pengadilan Australia, seperti Air New Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific. Totalnya mencapai 130 juta dolar Australia.
"Price fixing adalah hal yang serius karena itu mengurangi kompetisi di pasar dengan tidak adil. Dan kartel ini adalah salah satu contoh terburuk yang pernah kita lihat," ujar Kepala Australian Competition and Consumer Commission, Rod Sims dilansir Channelnews Australia.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan menjelaskan, kejadian tersebut merupakan kasus lama yang terjadi pada 2003 hingga 2006 dan belum berkekuatan hukum.
"Belum berkekuatan hukum tetap dan masih ada celah hukum yang memungkinkan untuk melakukan banding," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (31/5/2019).
Tentu saja Garuda Indonesia keberatan dengan putusan Pengadilan Tinggi Australia yang mengenakan denda sebesar AUD 19 juta. Pihaknya diminta untuk membayar biaya peradilan yang telah dikeluarkan oleh ACCC.
"Garuda Indonesia menganggap bahwa perkara ini tidak fair dan Garuda Indonesia tidak pernah melakukan praktek tersebut dalam bisnisnya, dan tuduhan ini tidak patut dikenakan kepada Garuda Indonesia sebagai BUMN yang merupakan salah satu instrumen negara Republik Indonesia," jelasnya.
Garuda menilai, denda dalam perkara ini pun seharusnya tidak lebih dari AUD 2,5 juta. Itu dengan pertimbangan pendapatan pengangkutan kargo Garuda dari Indonesia pada saat kejadian perkara ini terjadi adalah sebesar US$ 1.098.000 dan pendapatan pengangkutan kargo dari Hong Kong sebesar US$ 656.000.
Bukan tanpa upaya, kata dia Garuda Indonesia telah berkoordinasi intens dengan Kedubes Australia sejak 2012 dan Tim Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri sejak 2016 karena kasus hukum ini menyangkut "Interstate Diplomacy".
Halaman Selanjutnya
Halaman