Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak stabil. Dia menyebut hingga 10 Juni 2019 dolar AS tercatat Rp 14.250 atau menguat 0,91%.
"Angka ini menguat 0,91% dibandingkan akhir 2018 lalu," kata Perry di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dolar AS Pagi Ini Naik Tipis ke Rp 14.240 |
Dia mengatakan secara rata-rata hingga Juni 2019 mencapai Rp 14.187 menguat 0,41% dibandingkan rata-rata 2018 sebesar Rp 14.246 per dolar AS. Menurut Perry ini sejalan dengan perkiraan neraca pembayaran Indonesia (NPI) 2019, rata-rata nilai tukar 2019 diprakirakan berada pada kisaran Rp 14.000-14.400 per dolar AS.
Kemudian prospek NPI 2020 yang membaik juga mendukung nilai tukar rupiah 2020 terkendali, yang rata-rata diprakirakan berada pada kisaran Rp 13.900-14.300 per dolar AS.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menjelaskan penyelesaian sengketa dagang AS-China masih diliputi ketidakpastian, fokus pasar saat ini lebih ke dampak ongkos ekonomi yang ditimbulkan dari sengketa dagang tersebut.
Perang tarif antara AS dan China tidak hanya berdampak ke ekonomi China tapi juga memukul ekonomi AS sendiri dan negara-negara lain yang merupakan bagian dari mata rantai industri global (global industry value chains).
Berbagai indikator kegiatan industri di AS seperti Purchasing Manager Index (PMI) sudah terlihat menurun, daya serap tenaga kerja (non-farm payroll) mulai berkurang, dan kepercayaan konsumen mulai melemah.
Di pasar obligasi sudah terlihat dari selisih yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun dan 3 bulan menjadi negatif, atau dengan kurva imbal hasil inverted.
Dia menjelaskan secara historis, kurva imbal hasil yang inverted sering jadi indikasi melemahnya ekonomi ke depan bahkan masuk ke resesi.
Ekspektasi melemahnya ekonomi AS ke depan diterjemahkan di pasar future, dimana Future Fed Fund Rate untuk akhir 2019 turun ke 1,76% di atas Fed Fund Effective Rate atau suku bunga Overnight yang diperdagangkan pasar uang yang saat ini di 2,37%.
Dengan selisih antara future market dan suku bunga overnight yang diperdagangkan di pasar uang sebesar 50 bps, mengindikasi pasar berekspektasi suku bunga kebijakan the Fed akan turun dua kali selama semester dua 2019. Kemudian yield obligasi pemerintah AS 10 tahun saat ini sudah turun dari 2,45% di awal Mei 2019 ke 2,15%.
"Bukan hanya di AS, yield obligasi di negara maju lainnya seperti Jerman, (yield negatif) dan Jepang juga terus menurun karena ekspektasi melemahnya ekonomi global," ujar Nanang.
Dia mengungkapkan dengan yield obligasi pemerintah Indonesia (SBN) untuk seri benchmark FR 78 saat ini di 7,7% maka spread dengan yield obligasi AS masih cukup lebar sekitar 550 bps, masih cukup menarik untuk dapat menarik arus modal masuk ke pasar obligasi domestik sehingga dapat menopang stabilitas Rupiah.
Nanang mengatakan yield SBN sendiri terus menunjukkan penurunan sejak akhir Mei 2019 dari 8,05% ditopang masuknya arus modal asing, dan diperkirakan akan terus berlanjut karena pasar belum secara penuh (fully priced in) memperhitungkan sovereign credit upgrade oleh pemeringkat S & P pada akhir Mei 2019 dan Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang turun dari 140 bps di awal tahun 2019 menjadi 101 bps saat ini.
Dengan berlanjutnya arus modal masuk ke Indonesia karena semakin rendahnya imbal hasil obligasi di AS dan negara maju lainnya serta ditopang naiknya credit rating Indonesia seharusnya akan menopang stabilitas Rupiah ke depan.
"Ini sudah terlihat dari hari Senin 10 Juni 2019 lalu dimana tercatat inflows dari investor asing ke SBN mencapai Rp 3,5 triliun dan Selasa hari ini Rp 1,7 triliun. Sehingga arus modal asing ke SBN selama tahun 2019 ini telah mencapai Rp 58,6 triliun," jelas dia. (kil/ara)