Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 5.528 T

Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 5.528 T

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 18 Jun 2019 07:00 WIB
Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 5.528 T
Jakarta - Utang luar negeri (ULN) Indonesia periode April 2019 tercatat mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.

Hal ini disebabkan oleh ULN swasta yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sementara ULN pemerintah tetap tumbuh, namun melambat.

Ada beberapa hal yang menyebabkan ULN tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Berikut berita selengkapnya :

Penyebab Utang RI Bertambah

Foto: Tim Infografis, Andhika Akbarayansyah
Utang Luar Negeri Indonesia April 2019 tercatat US$ 389,3 miliar atau sekitar Rp 5.528,06 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.200. Jumlah ULN ini tumbuh 8,7% dibandingkan periode Maret sebesar 7,9%.

Statistik ULN yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) menyebutkan terjadi peningkatan karena transaksi penarikan neto ULN dan pengaruh pengurangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS.


Selain itu juga ada peningkatan pada ULN swasta yang meningkat. Sementara ULN pemerintah mengalami perlambatan. Utang swasta termasuk BUMN sebesar US$ 199,6 miliar Rp 2.834,2 triliun. Angka ini tumbuh 14,5% lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya 13%.

"ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2% terhadap total ULN swasta," tulis keterangan tersebut dikutip, Senin (17/6/2019).

Kemudian untuk utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 189,7 miliar atau sekitar Rp 2.693,7 triliun tercatat mengalami perlambatan yakni tumbuh 3,4% dibandingkan bulan sebelumnya 3,6%.

Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman senilai US$ 0,6 miliar dan penurunan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) milik nonresiden senilai US$ 0,4 miliar akibat ketidakpastian di pasar keuangan global yang bersumber dari ketegangan perdagangan.

Pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,8% dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,3%), sektor jasa pendidikan (15,8%), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (14,4%).

"Struktur ULN Indonesia tetap sehat. Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April 2019 sebesar 36,5%, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya," tulis keterangan tersebut. BI menyebut dengan perkembangan itu, meskipun ULN mengalami peningkatan namun masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat.

Bahaya Atau Tidak?

Foto: Mindra Purnomo
Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan dari komposisi total ULN yang paling tinggi adalah swasta, menurut dia hal ini sudah terjadi sejak 10 tahun terakhir.

"ULN sektor swasta trennya terus meningkat, sementara ULN pemerintah lambat. Ini sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah yang mengutamakan utang domestik, sehingga pertumbuhannya rendah," ujar Piter saat dihubungi detikFinance, Senin (17/6/2019).


Selanjutnya, Piter mengatakan saat ini rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah yakni kurang dari 30%. Namun ada porsi ULN yang cukup besar yakni 40%.

"Tapi bukan berarti ULN nya terlalu tinggi, saya menilai posisi ULN Indonesia masih dalam kisaran yang rendah," ujar Piter.

Menurut Piter pertumbuhan ULN ini tergantung dengan kondisi yang ada di suatu negara. Sementara itu untuk posisi ULN yang sudah terlalu besar dan menyebabkan risiko gagal bayar pertumbuhan 8,7% itu bisa jadi terlalu besar. Dengan demikian sebaliknya, untuk negara yang posisi ULN nya masih sangat rendah pertumbuhan ULN sebesar 8,7% dapat dikatakan masih sangat kecil.

"Sekarang yang diperlukan adalah memperbesar utang domestik, tapi saat ini kebijakan pemerintah yang mengutamakan utang domestik menurut saya adalah upaya untuk memperbaiki komposisi utang," jelas dia.

Dari data yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) ada peningkatan pada ULN swasta yang meningkat. Sementara ULN pemerintah mengalami perlambatan. Utang swasta termasuk BUMN sebesar US$ 199,6 miliar Rp 2.834,2 triliun. Angka ini tumbuh 14,5% lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya 13%.

"ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2% terhadap total ULN swasta," tulis yang diterbitkan BI.

Bisa Picu Krisis

Foto: Tim Infografis: Mindra Purnomo
Menurut Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah, peningkatan ULN swasta perlu diwaspadai. Hal itu dianggap berbahaya dan memicu krisis ekonomi seperti yang terjadi sebelumnya.

"Pertumbuhan ULN swasta yang terlalu cepat perlu diwaspadai karena berpotensi membahayakan. Saat ini mungkin belum terasa bahayanya. Tapi bisa memicu krisis seperti periode 1997/98 ketika terjadi pelemahan nilai tukar yang ekstrim," ujarnya kepada detikFinance, Senin (17/6/2019).

Memang, lanjut Piter, kondisi saat ini berbeda dengan kondisi saat krisis ekonomi 1997/98. Kala itu ULN swasta belum termonitor dengan baik.

Sementara saat ini kondisi ULN swasta dinilai sudah dimonitor dengan baik. Pemerintah dan BI menurutnya juga menjaga dengan mewajibkan mereka yang punya ULN untuk melakukan hedging.

"Selain hedging, saya kira BI dan pemerintah perlu mengupayakan mengurangi insentif bagi swasta untuk melakukan ULN yaitu dengan terus menurunkan suku bunga perbankan dalam negeri. Ini yang belum pernah berhasil," tutupnya.

Untung pertumbuhan ULN swasta diiringi dengan penurunan ULN pemerintah. Menurutnya penurunan ULN pemerintah sesuai dengan kebijakan pemerintah yang mengutamakan utang domestik.
Halaman 2 dari 4
(kil/dna)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads