Insentif ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010. Dalam aturan ini, Jokowi memberikan diskon paling tinggi hingga 300%.
Namun menurut Pengamat Ekonomi Faisal Basri kebijakan tersebut salah diagnosa. Maksud pemerintah ingin mengembangkan industri sambil meningkatkan kualitas SDM juga investasi. Faisal menjelaskan, dari sisi investasi justru tidak ada masalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: RI dan Singapura Mulai Nego soal Pajak |
Memang pertumbuhan investasi lebih besar ke sektor jasa dibanding industri, hampir dua kali lipatnya. Namun menurut Faisal pemerintah cukup mendorong pertumbuhan industri dengan tidak memaksa mereka mengeluarkan uang untuk berinvestasi di bidang SDM.
"Soal tenaga kerja kurang kan tidak bisa gampang dibikin universitas begitu saja. Ya ambil saja dari India. Di Indonesia juga restriksinya tinggi sekali. Kalau di Malaysia misalnya 1 pekerja asing berbanding 17 pekerja lokal. Di Indonesia 1 pekerja asing berbanding 2 ribu pekerja lokal," tambahnya.
Lagi pula, lanjut Faisal, pertumbuhan di sektor jasa juga menarik minat dari pekerja. Banyak dari kaum pekerja muda yang jauh lebih memilih bekerja di sektor jasa seperti startup misalnya.
"Jumlah pekerja industri penghasil barang hanya 45%. Sisanya di sektor jasa. Anak-anak muda berbondong-bondong menjadi pengacara, bekerja di startup, berdagang. Ya wajar, mereka mau kaya. Anak-anak muda enggak mau lagi kerja di industri kok dipaksa," ucapnya.