keberadaan payung hukum yang mengatur SDA pasca pembatalan semua pasal terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015.
Tertundanya pembahasan RUU SDA berdampak pada terhambatnya iklim investasi yang belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri mengelolaan air di Indonesia.
Padahal, dalam catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi paling besar pada 2018 lalu masih berasal dari sektor listrik, gas, dan air yang mencapai Rp 117,5 triliun atau 16,3% dari total investasi, di mana Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini sebesar Rp 392,7 triliun atau 15%) dari total
investasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Mohamad Mova Al'Afghani melihat berlarut-larutnya pengesahan RUU SDA ini akan menghambat pencapaian target 100-0-100 pada 2019 karena investasinya mandeg.
Program ini merupakan pemenuhan target 3 sektor, yaitu pemenuhan 100% akses layak air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0%, dan pemenuhan 100% akses sanitasi layak.
"Semua butuh investasi, dan investasinya mandeg karena terlalu lama RUU ini tidak diundangkan," kata Mova.
Pakar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Alvin Syahrir, mengemukakan perlunya UU SDA yang baru itu disebabkan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang berlaku saat ini pasca pembatalan UU SDA oleh MK sudah ketinggalan zaman untuk digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan sumber daya air.
"Pengelolaan SDA sudah saatnya mengatur dan pelaksanaannya secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi," tandas dia.
(dna/dna)