Manajemen Garuda Indonesia pun hari ini kembali merilis laporan keuangan 2018 dan kuartal I-2019. Hasilnya berbanding terbalik, dari untung jadi buntung.
Selain itu manajemen juga mengumumkan bahwa kerja samanya dengan Mahata yang menjadi biang kerok kekisruhan selama ini dibatalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2018 Garuda Indonesia berhasil mengantongi laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Suatu capaian yang luar biasa, mengingat sebelumnya BUMN ini terus mengalami kerugian.
Pengakuan pendapatan atas transaksi itu berasal dari Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) nomor 23.
Sebab manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang di antaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sri Wijaya Air. Padahal uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.
Pada tanggal 31 Oktober 2018, Grup Garuda Indonesia dan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) mengadakan perjanjian kerja sama yang telah diamandemen, terakhir dengan amandemen II tanggal 26 Desember 2018, mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten.
Mahata menyetujui membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dalam penerbangan untuk 50 pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar US$ 131.940.000 dan biaya kompensasi atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 18 pesawat A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, 1 pesawat Boeing 737-800 MAX dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar USD 80.000.000 kepada Grup setelah ditandatangani perjanjian kerja sama.
(das/eds)