Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, saat ini undang-undang (UU) terkait fintech atau pinjaman secara online sangat dibutuhkan. Itu diperlukan sebagai landasan hukum menghentikan fintech abal-abal yang makin meresahkan masyarakat.
"Kita membutuhkan Undang-undang fintech, karena kalau lihat fintech ilegal tak ada UU yang mengatakan tindak pidana," kata Tongam dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (2/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, saat ini fintech pinjol memang inovasi keuangan yang mengikuti perkembangan teknologi. Namun kemunculan fintech ilegal ini akan menjadi masalah untuk masyarakat ke depannya.
"Itu inisiatif pemerintah dan DPR tentunya dan kami satgas waspada investasi siap memberikan masukan," katanya.
Adanya Undang-Undang ini juga diharapkan dapat menutup celah kehadiran fintech-fintech bodong atau tidak berizin. Tongam juga menyampaikan, meskipun satgas waspada investasi sudah banyak menutup kegiatan Fintech Peer-To-Peer Lending tanpa izin, tetap saja banyak fintech yang terus bermunculan secara ilegal.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Rickynaldo Chairul, menjelaskan secara perkembangannya, ada beberapa kelompok yang masuk kategori tindak pidana terhadap fintech peer-to-peer lending. Di antaranya adalah, terkait dengan penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengiriman gambar porno, pencemaran nama baik, ancaman, manipulasi data, dan ilegal akses.
"Hal-hal itu bisa kita jerat di dalam pasal-pasal yang sudah terangkum dalam Undang-Undang ITE. Belum kita temukan pasal lain yang menjerat fintech ini," katanya.
Sekadar informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga saat ini jumlah Fintech Peer-To-Peer Lending tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK telah mencapai sebanyak 1.230 etintas. Jumlah itu terdiri dari 404 etintas yang tercatat pada 2018 dan 826 etintas sepanjang 2019.
(kil/fdl)