Justru di tengah harga tiket yang masih selangit, salah satu maskapai penerbangan menawarkan harga tiket yang murah. Maskapai tersebut adalah AirAsia Indonesia, kontras dengan para kompetitornya AirAsia justru mampu memberikan harga tiket yang murah.
Beberapa isu persaingan tidak sehat antara maskapai pun muncul, mulai dari kartel harga tiket sampai depak-mendepak penjualan tiket di online travel agent (OTA).
Direktur Utama Indonesia AirAsia Dendy Kurniawan berbagi cerita secara eksklusif dengan detikFinance mengenai banyak hal. Mulai dari rahasia tiket murah AirAsia, kartel tiket, tiket hilang di OTA, hingga ekspansi rute domestik, dan beberapa hal lainnya. Simak wawancara lengkapnya.
Menurut kami nggak rumit amat sebetulnya, bisnis penerbangan ini kan sudah lama. Nggak bisa juga orang bilang nih 10 tahun terakhir banyak gulung tikar karena kasih tiket termurah. Semua bisnis banyak kok 10 tahun terakhir ngga nentu juga.
Kenapa kami bilang tidak rumit? Karena kami di AirAsia sendiri bisa tuh tawarkan harga tiket terjangkau, sesuai motto kami now everyone can fly. Bahkan kami adalah pihak yang sering suarakan domestik nggak usah ada tarif batas bawah, supaya kita bisa jual semurah mungkin. Kan AirAsia kadang banyak promo murah sampai Rp 0 kadang-kadang. Kita mau stimulate orang mau terbang. The end of the day, volume juga yang nge-drive bisnis kita.
Soal harga mahal itu balik lagi ke masing-masing airlines, mereka kan mungkin berpikir beban pokok operasionalnya, mereka mau jual tiket diatas harga pokoknya itu. Pertanyaannya adalah apakah itu akan diabsorb market atau tidak, sesuatu yang tidak bisa dikontrol siapapun, market punya kebebasan untuk tentukan pilihannya. Saya melihat masyarakat cerdas lah nggak melulu harga jadi pertimbangan utama, tapi mereka liat kualitas operasionalnya, kemanan, on time performance, sampai kemudahan yang diperoleh mulai dari booking sampai dia mendarat di tujuan.
Waktu ribut soal tiket mahal dan diminta turun, AirAsia nggak nurunin tiket, apa karena sudah terlalu murah?
Kami jalankan bussines as usual, kami tidak terpengaruh gonjang-ganjing. Kami sudah punya strategi pricing, ya normal aja lah. Saat peak season masa di mana demand tinggi harga pasti mahal, dan pada musim biasa demandnya rendah, contoh seperti bulan ramadhan demand sedikit turun maka kita jual harga rendah nggak tinggi nanti konsumen nggak mau beli, jadi ya wajar-wajar aja.
Apa yang dilakukan AirAsia ketika memutuskan harga murah, sudah rahasia umum lakukan efisiensi, belum lagi faktor keamanan. Bagaimana seimbangkan keduanya?
Kami tekankan, cost available seat perkilometer kami di bawah US$ 4 sen. Itu Hitungan efisiensinnya penerbangan, itu measurement alias parameter atau indikator untuk ketahui efisiensi airline, cost dia berapa per seat perkilometer. Kami masuknya salah satu terendah bahkan se-Asia Tenggara.
Kenapa rendah? Pertama Karena kami hanya operasikan satu jenis pesawat, Airbus. Dengan itu maintenance makin simple, sparepart jauh lebih sedikit, sertifikat pilot juga khusus untuk Airbuss, meskipun punya kemampuan sama licence pilot Airbuss kan berbeda sama merek lain. Jadi bisa dipangkas, cost kita lebih efisien lah.
Kedua, kami kan AirAsia Indonesia grup besar AirAsia nih, ada 6 negara di Asia, Filipina, Malaysia, Thailand, India, Indonesia, dan Jepang, semua pake Airbus. Dengan kami operaai as a grup economic of scalenya tercapai, misal kita perlu pesawat nih, Indonesia butuh 5 misalnya, Filipina butuh 5, Thailand butuh 5. Kalau sendiri ke airbuss harga akan beda, kalau kita beli bareng sekali pesan banyak, nilai tawar kita bagus.
Lalu terkait masalah procurement karena work as a group volume jadi tercapai kalau mau beli apa-apa, misalnya kita beli software technology karena kita bareng tadi akan jauh lebih murah dibanding investasi sendiri.
Lalu sisi operasional sendiri kami memiliki tinhkat kapabilisasi pesawat yang tinggi. tingkat kapabilisasi kita 12,4 jam per pesawat perhari. Ini akan membantu, karena fix cost kami akan terbagi oleh pembagi yang lebih banyak karena sering digunakan. Karena pesawat ini dipakai nggak dipakai kan bayarnya tetap sama, katakanlah sekian ribu US dollar kami sewa pesawat mau dipakai 1 jam, 10 jam sama aja gitu harganya.
Pesawatnya AirAsia sewa atau beli?
Kebanyakan kita sewa ada beberapa yang kami miliki sesuai dengan UU no 1 2009 maskapai berjadwal nasional harus memiliki juga, sisanya kita sewa. Perbandingannya kalau kondisi sekarang itu 80-20, 80 sewa 20 milik sendiri. Kenapa kita sewa? Karena jauh efisien juga, karna kalau misal ada teknologi baru kita nggak perlu pusing, tinggal balikin dan minta aja jenis baru ke leasernya.
Soal kebijakan tiket murah Selasa, Kamis, Sabtu apakah AirAsia ikut lakukan itu atau malah sudah?
Sebelum dibilang pun kami sudah di rentang yang diminta pemerintah, kan diminta beberapa persen dibawah tarif batas atas tuh. Tapi sebelum diminta pun kami jualnya sudah di situ gitu lho.
Kami mengapresiasi pemerintah untuk kebijakan itu karena memudahkan masyarakat dapat tiket murah. Poin yang mau saya sampaikan justru, tidak perlu sih sebenernya airline itu diatur jual murah, karena kami sudah punya strategi lah. Untuk jam-jam favorit yang demand rendah juga nggak akan mahal.
Misal Jakarta-Denpasar, ramainya kan Jumat Sabtu, Minggu, Senin gitu weekend. Cuma di hari yang demand rendah harganya pasti beda gitu kan, pasti sudah ada hitungannya gitu.
Ada persaingan harga di LCC, apakah itu yang jadi cara AirAsia tentukan harga?
Persaingan memang tidak bisa dihindari, asal sehatlah. Kompetisi itu harus ada, karena kompetisi itu buat kita jauh lebih efisien. Hasilnya konsumen yang diuntungkan, karena akhirnya kami berlomba kasih yang terbaik untuk konsumen. Sehingga customer bisa memilih kami, persaingan harga tidak bisa dihindari ya dan kompetisi adalah hal yang mutlak diperlukan.
Dengan efisiensi dan tiket murah kinerja keuangan AirAsia bagaimana?
Semua bisnis pasti mau untung ya, tadi ada persaingan, konsumen juga makin cerdas hasilnya margin keuntungan makin tipis kan.
Kinerja kami memang 2018 alami kerugian, hal tersebut karena harga minyak dunia tinggi pengaruh ke harga avtur, lalu nilai mata uang juga kan melemah waktu itu sampe Rp 15 ribu. Selain itu demand agak slow banyak kejadian alam yan kurang menguntungkan lah, kayak bencana bencana, yang membuat wisatawan juga takut kesini batalkan berkunjung.
Tapi 2019 kami membaik, kalau Q1 di tahun lalu rugi kita Rp 200 miliar lebih, Q1 ini di bawah Rp 100 miliar. Satu dua minggu dari sekarang akan kita rilis laporan kita, alhamdullilah hasilnya positif. Saya sih optimis tutup tahun dengan laba ya.
Dalam menentukan harga apakah melihat kemampuan finansial masyarakat?
Pasti, misal kami buka rute, siapa saja yg terbang kesana mereka jual berapa, potensi pariwisata, apakah rute ini mix input atau output penumpangnya.
Misal kita buka Lombok ke Perth kemarin, itu marketnya kebanyakan orang dari Perth datang ke Lombok. Lebih banyak input ke Lombok dari pada output ke Perth, berati kita lihat rute ini andalkan input ke Lombok, kita lihat lah daya beli masyarakat Perth sendiri.
Lombok ke Perth kosong dong pesawatnya?
Nggak kosong, tapi loadnya nggak banyak. Orang beli tiket kan ngak cuma one way, tapi roundtrip gitu kan. Lombok ke Perth nggak rame nih 50%, tapi dari Perth ke Lombok 85%, tiga hari kemudian misalnya pada pulang nih jadi ketutup.
Rute mana yang load factor stabil di mana?
Untuk statistik load factor kami rata rata 87%, kuartal pertama tahun lalu cuma 80% naiknya lumayan 7%. Kuartal dua akan sehat, tapi tetap lebih sedikit dari kuartal pertama.
Kemarin menarik soal Hilangnya AirAsia dari OTA? Itu siapa yang menghilangkan?
Dihilangkan bukan hilang hehehe. Yang jelas ya mereka ya, sebagai tempatnya pemilik platformnya kan ya Traveloka. Mereka kan kerja sama dengan kami, orang beli tiket bisa lewat kami ataupun traveloka. Nah waktu itu mendadak kok nggak ada tiket kami di Air Asia, sementara seat available, kita tanya traveloka nggak dijawab. Kemudian beberapa hari muncul lagi, kami yaudah lah mungkin masalah sistem, tapi udah tetap kecewa kita karena nggak dapat jawaban resmi dan klarifikasi. Sebentar muncul, eh berapa hari hilang lagi. Kami follow up lagi nggak ada kejelasan juga dari mereka.
Kami tidak ingin penumpang tersesatkan kan. Misal penumpang cek Traveloka tiket AirAsia kok nggak ada, yang muncul di benaknya apa, pasti mengiranya seatnya udah habis padahal tidak. Agar penumpang kami tidak salah persepsi akhirnya ya kami klarifikasi, kami tidak lagi kerja sama dengan mereka kalau mau pesan tiket AirAsia silakan langsung ke website.
Banyak rumornya ya saya nggak mau spekulasi mengenai persaingan tidak sehat, mending saya fokus urusin bisnis. Sekali lagi ini jadi urusan b to b sama Traveloka aja ya.
Nggak mau selidiki maskapai mana di belakang penghilangan ini?
Itu biar urusan lembaga lembaga saja lah ya yang berkerja kami siap support aja. Pokoknya kami nggak mau spekulasi, Traveloka nggak mau kerja sama dengan kami, ya oke nggak apa-apa.
Justru malah setelah kejadian itu traffic Airasia com menanjak 100%, kenapa karena orang penasaran, mereka lihat platform kita bagus interaktif.
Sudah mantap nggak mau masuk ke OTA lagi nih?
Oh nggak nggak, kalau mereka ngomong ke kami mau kerja sama lagi yaudah lah kami lapang dada, buka pintu selebar-lebarnya. Tapi ya ayo aturannya yang jelas, win-win gitu, nggak boleh ada yang dirugikan lah.
Tiket AirAsia hilang di OTA lain juga?
Banyak, nggak tau kenapa tuh wabah penyakkt.
Seberapa besar pengaruhnya terhadap penjualan tiket?
Nggak besar sih. Mereka ini kan membantu kita, dengan nggak ada mereka ya jelas ada pengaruhnya sih memang, tapi ya kami prediksi 2-3 hari lah, selanjutnya back to normal. Ini malah menurut kami lebih better sekarang lah.
Kemarin sempat masuk KPPU, dimintai keterangan apa?
Ada beberapa isu sih, soal OTA kami jelaskan kronologinya aja lah.
Banyak orang yang melihat persaingan di industri penerbangan ini kayak perang antar maskapai, tanggapannya seperti apa?
Perang selama sehat nggak apa apa ya, kompetisi lah selama itu sehat ya. Seperti saya bilang kalau kompetisi sehat pasti menguntungkan masyarakat, harga tiket pasti jadi terjangkau, pelayanan juga pasti lebih. Jadi berlomba untuk berikan yang lebih buat penumpang.
Sampai ada dugaan kartel, itu bagaimana lihatnya?
Nggak sih kalau kita nggak terlalu terganggu, memang marketshare domestik saya kecil, hanya 2 joma sekian persen. Saya strong di internasional. Meski pesawat kita sedikit dibanding maskapai lain di Indonesia, tapi internasional kami nomer 1. International connectivity kita adalah yang terbesar di Asia, lebih dari 300 destinasi se Asia. Sampai kota kecil di Cina kita terbang kesana ,bukan cuma Shanghai, Beijing itu hnya bisa diakses dengan AirAsia.
Balik lagi kenapa nggak berpengaruh? Karena memang internasional kita no 1, mau ada kartel mau nggak, saya nggak masalah. Domestik juga cuma 2% gitu lho kita nggak merasa terganggu sih. Kalau di internasional kami yakin lah kami konektivitas terbesar di Asia sulit lah dikejar bukannya mau sombong.
Sekarang ekspansi kita plannya ke domestik, mulai 2019 ke lima tahun ke depan memang ini fokus kita ke domestik. Kita keluarkan rute baru nih Jakarta-Sorong, Jakarta-Lombok, Jakarta-Semarang, Lombok-Jogja, Bali-Lombok, Bali-Labuan Bajo, bentar lagi Jakarta Belitung. Tahun ini sudah launching semua, Belitung bentar lagi.
Targetnya bisa naikin berapa persen di domestik?
Betul mau kita tingkatkan, targetnya sih mau nomor satu lagi tapi masih jauh lah. Kita nggak muluk-muluk lah bisa sampai 5% lah dua tiga tahun lagi. Target panjangnya, ya bisa seimbang lah sama maskapai lokal lain.
Apakah karena mau ekspansi, AirAsia ini dikasih gangguan mulai dari OTA sampai penurunan tiket?
Nggak apa-apa sih, kita udah biasa sama gangguan, asal jangan diganggu dedemit aja lah susah ngurusnya. Selama gangguan sifatnya teknis bisa kita selesaikan. Tapi saya nggak mau spekukasi dan urusin soal persaingan usaha tidak sehat. Kita fokus aja lah, kata kuncinya dua efisiensi dan inovatif.
Pesaing terberat di Indonesia maskapai apa?
Terberat sih nggak ya, kalau sama bisnisnya ya Citilink ya, sama bisnisnya, sama-sama LCC. I would say Citilink ya.
Lion Air nggak masuk hitungan?
Lion Air mungkin sama bisnis modelnya, tapi kita punya segmen penumpang yang berbeda. Kalau Citilink sih sama.
Rute terbaru ini ada bersinggungan nih sama yang lain, bagaimana?
Kalau masalah singgungan itu selalu terjadi, misal saya buka virgin route tinggal nunggu aja maskapai lain datang. Sama halnya kalau saya masuk ke tempat yang udah eksisting dua tiga penerbangan disana, saya mau masuk ke sana bukan berarti kita mau rebut pasarnya, memang bisnisnya seperti itu.
Kita terbuka, justru malah jadinya persaingan, bisa aja dorong efisiensi kita lagi, penumpang diuntungkan harga bisa rendah. Misalnya ada satu rute hanya satu maskapai, dia jual Rp 1 juta, ada yang masuk baru dia matok Rp 800-900 ribu, yang eksisiting nggak mungkin mantengin sejuta kan pasti turun.
Menambah rute berarti menambah pesawat lagi dong, berapa rencananya?
Pastinya ya, tahun ini kita rencana akan menambah lima, di akhir 2019 kita tutup dengan 24 pesawat. Sekarang kita punya 25 pesawat, rencana akhir 2018 itu jadi 29 pesawat. Kita masih menunggu empat lagi, insyaallah akhir Agustus datang satu lagi, kemudian di September satu lagi, Oktober satu lagi, Desember satu lagi.
Selain pesawat pastinya kru akan ditambah, AirAsia akan menambah berapa itu?
Kalau satu pesawat itu kita butuh kru antara 4-5 set kan, jadi hitung aja itu ada lima pesawat, berarti 20-25 set ya, dari cocpit hingga cabin crew-nya. Rekrutmen masih kami lakukan terus, karena kan perlu proses untuk bisa menyiapkan pilot maupun cabin crew untuk bisa terbang. Tipe rekrutmen itu kan ada dua, ada yang sudah pengalaman traingingnya bisa cepat lah ya, lalu yang kedua yang direkrut fresh graduate istilahnya, artinya trainingmya butuh lebih lama. Misalnya kita punya planning di bulan Desember akan masuk slot 1, tentunya slot ini harus disiapkan 6-9 bulan sebelumnya, dari rekrut sampai trainingnya.
Satu pilot itu maksimal satu hari bisa berapa jam terbang?
Dia 9 jam, sehari maksimal 9 jam, dalam seminggu 30 jam, dalam sebulan 110 jam, dan dalam setahun 1050 jam. Kami memang ketat untuk hal ini.
Kalau lebih bagaimana?
Wah kalau itu bisa kena sanksi dari Kementerian Perhubungan, mereka pun ketat mengawasi jam kerja pilot.
Kalau pesawatnya, sehari berapa jam terbang?
Bebas, kan sehari ada 24 jam, semaksimal mungkin digunakan, tentunya ada spare waktu antara 3 sampai 5 jam untuk maintenance, 3 jam lah minimal, 24 dikurangi 3 ya punya waktu 31 jam. Nah 21 jam ini kan di domestik kan jarang ada rute yang 10 jam-10 jam. Artinya kan, kita harus hitung pada saat ground time dia juga, misal terbang dua jam ground time setengah jam. Semaksimal mungkin aja, yang poenting 24 jam itu ada waktu yang digunakan untuk maintenance. Masalahanya kan, di Indonesia nggak semua bandara buka 24 jam ini juga yang membuat pesawat AirAsia tidak maksimal.
Beberapa bandara juga crowded, misal Bandara Soekarno Hatta, bagaimana cara aturnya?
Di bandara besar pasti crowded ya di Soetta, Ngurah Rai, di HongKong. Tentu kami harapkan tidak mendapatkan jam yang prime yang golden hours lah. Atau kita cari rute yang optimal, kayak Jakarta ke Denpasar kalau balik lagi pas jam baliknya slotnya nggak ada nih, ya jangan ke Jakarta dulu, mungkin kirim ke Singapura dulu atau kemana gitu, atau mungkin Denpasar ke Surabaya dulu. Kami punya tim lah urus hal itu, saya rasa Airline lain juga punya tim bagaiamana untuk siasati keterbatasan slot itu supaya rotasi pesawatnya optimal.
Persaingan di dunia usaha lagi, mungkin untuk AirAsia di negara lain, apakah juga sama persaingannya seperti di Indonesia?
Saya rasa dari sisi persaingan sama-sama aja, masih sama persaingan harga tidak bisa dihindari terus bagaimana menawarkan service sama juga lah ya.
Kalau menghilangkan di OTA misalkan, ada juga?
Ya ada lah pasti lah, meski nggak sama persis tapi sedikit-sedikit ada yang nyeleneh aneh itu juga pasti ada.
Hampir semua negara ada, kalau di Indonesia bagaimana lebih lembut atau agak keras?
Ya ada aja, wah saya kurang paham karena masalah di sana kan saya cuma lihat dari kulitnya dari luar, kalau di Indonesia kan saya pelaku saya lebih bisa paham apa yang terjadi di Indonesia, tapi klau di Malaysia, Filipina, Thailand dan lainnya hanya di kulitnya aja sih. Jadi ya saya nggak bisa berikan jawaban persis perbandingannya kayak apa . Butuh studi khusus kali untuk jawab hal itu.
My point is, hal kayak begitu memang nggak bisa juga dihindari ya, dimana pun pasti ada sih, saya yakin. Balik lagi bagaimana pemerintah regulator institusi berwenang mainkan peranannya untuk kontrol persaingan menjadi sehat gitu kan.
Selain LCC, AirAsia Indonesia ada niat membuka penerbangan di atas kelas LCC?
Nggak kita semuanya LCC, tapi memang ada AirAsia X long haul, itu satu grup. Kalau di Indonesia ini untuk AirAsia X ada, kita berjadwal terbang Bali Mumbai, sempet ke Melbourne ke Sydney. Kalau short haul kan kita pakai Airbus 320, kalau long haul Airbus 330. Cuma untuk di Indonesia kita konsolidasi short haul dulu di bawah 4 jam, ini hanya ada tiga negara AirAsia X long hanya di Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Mau ditingkatkan lagi?
Kita lagi kaji long haul, cuma sekarang memang fokusnya kita short hole, rencananya tiap tahun kita mau tambah pesawat minimal lima untuk long haul. Dua-duanya sebetulnya sama-sama LCC ya, bedanya waktu perjalanannya aja, kalau short haul itu 4 jam penerbangannya, kalau long haul itu bisa 4 sampai 10 jam.
Konsepnya sama-sama low cost carrier, kan LCC itu harga yang diberikan best farenya cuma hanya harga yang membawa anda pergi dari poin A ke poin B. Kalau nggak ada preferance mau duduk di mana ya nggak usah bayar tambahan, nggak ada preferance masalah tambah bagasi nggak perlu bayar lagi, nggak mau makan nggak usah bayar lagi. Konsep low cost carrier kan begitu.
Catatan AirAsia, konsumen penerbangan tanah air itu tren pertumbuhannya seperti apa, apakah setiap tahun catatkan pertumbuhan?
Saya rasa kalau liat data airport Angkasa Pura I Angkasa Pura II, tiap tahun kan muatan jumlah penumpang mengalami peningkatan yang cukup sehat lah, kadang sampai double digit 10%. Tapi kemarin-kemarin ini kan jadi pertanyaan dengan banyaknya harga tiket yang mahal angkanya seperti apa, saya belum lihat nih angka terakhir, pengaruhnya seperti apa.
Tapi kami sendiri memang mendapatkan banyak masukan lah ya. Banyak berkirim surat ke kami itu pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupuin kabupaten mengharapkan kami untuk terbang ke wilayahnya mereka dengan alasan bahwa yang ada sekarang lebih mahal pak, mungkin AirAsia bisa bantu. Tapi kami kan hanya punya pesawat kan 25, nambahnya juga lama, terbatas kan nggak bisa kita penuhi.
Tapi ya salah satu yang kemarin kita penuhi juga kan, kita buka Jakarta-Sorong. Kita buka hub di Lombok juga itu salah satunya request pak Gubernur Nusa Tenggara Barat juga, yang menyampaikan bahwa tolong dibantu menaikkan industri pariwisata di NTB terutama di Lombok. Maka kita buka hub di Lombok, kita terbang ke Perth, ke Bali juga, banyak sih dari pemerintah daerah juga.
Mengenai wacana maskapai asing masuk Indonesia seperti apa tanggapannya, apakah itu akan jadi ancaman untuk AirAsia? Atau justru malah menantang itu masuk agar bisa berkompetisi?
Menantang sih nggak ya, tapi melihat ini sebagai ancaman pun tidak. Kembali saya tekankan, kami senang kompetisi. Saya yakin ini bisa bikin operasi makin excellence konsumen juga makin diuntungkan. Bagaimana tidak, dengan kompetitor baru yang cost structure lebih rendah pasti itu akan jadi cambuk dan tamparan buat kita, 'oh ini aja dia bisa kenapa kita tidak', kita jadi mesti cari tahu kok dia bisa semurah itu kenapa kita tidak, harga murah konsumen juga diuntungkan.
Tapi maskapai asing itu sebetulnya udah ada UU nya ya, UU 1 2009 dimana membatasi kepimilkan asing 49%, sama semuanya. Kayak kita AirAsia Indonesia juga kan kepemilikan asingnya kan 49%, ya kami senang aja kalau memang ada yang baru atau siapapun lah ya nggak harus asing, domestik mau mana aja, itu bikin kompetisi makin sehat.
Sudah dengar ada maskapai asing yang mau masuk?
Dengar banyak yang pengen sih, tapi nggak tahu ya prosesnya udah sampai mana.
Bakal jadi pesaing serius?
Ya biasa aja lah, apa ya saya lihatnya di Asia sendiri kan posisi kami nomor 4 terbesar as a group. Jadi kami tahu lah di regional Asia kayak gini pemainnya siapa aja kami tahu lah, istilahnya kalau mau masuk ke Indonesia dan diizinkan, ya masuk aja. Di negara lain kita sudah pernah bersaing dengan mereka.
Kalau di Indonesia yang asing siapa aja, AirAsia juga?
Kami bukan asing sih sebetulnya, kami nasional cuma memiliki porsinya asing 49%, cuma memang yang seperti kami ya cuma kami sih sekarang. Dulu kan ada Mandala, tapi sekarang sudah tidak beroperasi kan, kalau sekarang sih hanya AirAsia, yang lainnya memang murni nasional.