-
Neraca dagang Indonesia kembali mengalami defisit. Di tengah kondisi ekonomi global yang kembali 'ricuh', Indonesia kembali mencatatkan defisit neraca perdagangan pada Juli 2019 sebesar US$ 60 juta.
Penyebabnya lagi-lagi disumbang oleh impor minyak dan gas (migas) yang masih tinggi. Meski defisitnya lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, namun secara kumulatif neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun ini (Januari-Juli 2019) masih defisit US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 26,6 triliun.
Pemerintah masih putar otak untuk menekan jumlah tekor yang masih terus membayangi laju ekonomi Indonesia tersebut. Migas yang jadi biang keladi masih jadi fokus utama untuk bisa ditekan impornya.
Sementara ekspor yang juga harus lebih kencang digenjot menghadapi tantangan proteksionisme yang kian nyata di kancah ekonomi global. Berikut informasi selengkapnya:
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 60 juta per Juli 2019 disebabkan oleh impor migas. Ekspor migas tercatat sebesar US$ 1,6 miliar sedangkan impornya US$ 1,74 miliar atau selisih US$ 142,4 juta.
Pria yang akrab disapa Kecuk ini mengatakan, impor migas melonjak tinggi terutama terjadi pada hasil minyak. Impornya tercatat US$ 1,07 miliar sedangkan ekspornya US$ 384,2 juta atau terdapat selisih US$ 687,2 juta.
Penyebab selanjutnya adalah impor minyak mentah yang sebesar US$ 485,5 juta dibandingkan ekspornya US$ 181,1 juta. Sedangkan untuk gas masih surplus US$ 849,2 juta karena nilai ekspor US$ 1,04 miliar dan impornya US$ 191,1 juta.
"Kalau dilacak ke dalam adalah impor minyak mentah dan hasil minyak, karena gas masih alami kenaikan, non migas juga masih surplus," jelas dia.
Wakil Menteri (Wamen) ESDM Arcandra Tahar menolak menjadikan impor migas sebagai biang keladi defisit neraca perdagangan bulan Juli. Meski masih mengalami defisit, dia mengklaim catatan impor migas pada Juli ini lebih baik dari bulan sebelumnya.
"Coba kita lihat angkanya. Secara garis besar bulan ini lebih baik dari bulan lalu. Banyak faktornya, tapi intinya lebih baik," katanya saat ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Pada Juni 2019, tercatat defisit neraca migas sebesar US$ 966,8 juta atau setara Rp 13,5 triliun. Angka ini memang tercatat lebih besar dibanding Juli 2019 yang defisitnya US$ 14 juta.
"Coba bandingkan antara bulan Januari sampai Juni, terus Juli seperti apa. Berapa rata-rata enam bulan pertama dengan berapa yang ada di Juli. Jadi kita nggak lihat sesaat," kata Arcandra.
Meski demikian, Arcandra mengaku akan terus berusaha mengurangi impor migas dengan sejumlah program yang telah dicanangkan. Di antaranya adalah penggunaan B20 dan B30.
"Kita berusaha mengurangi impor," katanya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan pihaknya terus berusaha mengurangi impor migas dengan berbagai cara. Salah satunya melalui optimalisasi penggunaan solar dengan campuran biodiesel B20 dan B30.
Selain itu, dia bilang kapasitas produksi Pertamina akan terus ditingkatkan agar mampu mensubstitusi kebutuhan migas di dalam negeri, sehingga impor juga bisa ditekan.
"Yang impor, beli dari Pertamina karena Pertamina mampu menyediakan seperti solar dan lain-lain. Ini juga untuk mengurangi impor kita," kata Arcandra.
Lebih jauh lagi, Indonesia akan mempertimbangkan untuk menerapkan bahan bakar dengan campuran minyak nabati 100% (B100) alias green diesel.
"Kalau teknologi sudah ada, tapi juga perlu waktu. Nggak bisa instan," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan ekspor akan terus digenjot melalui sejumlah cara. Dalam jangka pendek, pemerintah juga akan mempercepat sejumlah perundingan dagang agar akses pasar terbuka.
"Kita lakukan misi dagang, promosi. Jadi bisa mendorong ekspor dalam waktu pendek," katanya.