Penerapan Kartu Pra Kerja Jokowi Diprediksi Butuh Waktu 2 Tahun

Penerapan Kartu Pra Kerja Jokowi Diprediksi Butuh Waktu 2 Tahun

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 19 Agu 2019 20:04 WIB
Ilustrasi pekerja/Foto: Istimewa/Instagram MRT Jakarta.
Jakarta - Tahun depan pemerintah menargetkan ada sebanyak 2 juta orang yang akan masuk dalam program kartu pra kerja. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid mengatakan, terlalu cepat bagi pemerintah untuk merealisasikan kartu pra kerja tahun depan.

Tauhid menuturkan, pemerintah masih perlu memperkuat basis data atau data base untuk penetapan penerima kartu pra kerja. Untuk memperkuat data base tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang. Prediksinya dua tahun.

"Untuk kartu pra kerja tahun depan terlalu cepat, bangun data base saja perlu waktu satu sampai dua tahun," ujar Tauhid di kantor pusat INDEF, Jakarta, Senin (19/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tauhid menyebutkan, dalam pengerjaan data base ini diperlukan kerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) serta kementerian terkait. Sehingga, dalam penentuan pihak-pihak yang berhak menerima kartu pra kerja dapat terlaksana dengan adil.



"Karena kan misalnya harus paling ngga melibatkan BPS untuk kartu pra kerja. Kemudian melibatkan industri terkait, industri yang memang mengalami PHK dan sebagainya. Mereka harus melapor ke Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas-dinas terkait. Itu harus punya database, disinkronkan. Karena kalau tidak ada eligibility siapa yang berhak akan jadi pertanyaan dan akan jadi masalah di kemudian hari terkait pertanggungjawaban," jelas Tauhid.

Menurut Tauhid, penerapan kartu pra kerja ini tak bisa hanya dilimpahkan tanggung jawabnya pada Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Perindustrian juga perlu dilibatkan.

"Itu kan ada Dirjen Binalatas (Kemenaker) ada unit menangani itu. Tapi dia harus punya fungsi koordinatif dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Perindustrian. Paling tidak kementerian itu, koordinasi tidak cukup hanya level Kemenaker tapi ditingkatkan lagi. Kementerian Koordinator dan juga harus melibatkan Bappenas untuk perencanaan kartu pra kerja itu sendiri," papar dia.


Ia juga membeberkan soal kriteria penerima kartu pra kerja yang harus diutamakan pada pekerja yang di PHK dan tak mendapatkan pesangon. Lalu, menurutnya lulusan SMA tak bisa diprioritaskan untuk mendapat kartu pra kerja.

"Jangan sampai yang tadi misal baru lulus SMA atau misal menganggur sudah sekian lama mendapatkan kartu, menurut saya mereka boleh mendapatkan pelatihan dan sebagainya, tapi income benefit-nya harus ada prioritas orang yang kena PHK, tapi catatan data base harus sudah ada. Harus bisa diverifikasi. Karena nggak mungkin, siapa yang bisa dikatakan sebagai penganggur dan kena PHK? Paling yang mungkin adalah pekerja formal. Sementara pekerja informal hari ini kerja jadi buruh, ojek, dan sebagainya bisa dapetin tidak? Tidak bisa. Nah itu harus dibatasi, kriteria harus dibangun," terang Tauhid.

Tauhid menegaskan, apabila diterapkan kartu pra kerja ini terlalu dini, maka dampaknya kartu ini rentan disalahgunakan atau ada moral hazard. Apabila mau diterapkan, maka dapat diimplementasi secara bertahap dan pendataan harus jelas.

"Terlalu dini, menurut saya bertahap, boleh dilakukan dulu tahun 2020 tapi pendataan harus dilakukan terlebih dahulu, verifikasi uji coba, baru bisa meluas. Kalau belum ada uji coba kartu pra kerja, data belum di konfirmasi, belum divalidasi langsung ke seluruh Indonesia, menurut saya akan berantakan, tujuannya moral hazard ketimbang mendorong manfaat sosial dari kartu pra kerja tadi," tandasnya.


(zlf/zlf)

Hide Ads