Jakarta -
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) butuh regulasi yang lebih kuat untuk menjaga tata kelola para pemain tekfin dalam negeri atau yang dikenal dengan istilah fintech (financial technology). Sebuah produk hukum berupa Undang-undang (UU) didorong untuk dibuat agar fintech yang terus berkembang layanannya bisa jelas aturan mainnya.
Perkembangan fintech di Indonesia sedemikian pesatnya, khususnya di bidang pembayaran serta pinjaman atau peer to peer lending (P2P lending). Data Asosiasi Fintech Indonesia menunjukkan total pinjaman yang disalurkan oleh Fintech per Mei 2019 mencapai Rp 33,2 triliun, sementara untuk pembayaran transaksinya mencapai Rp 47,1 di 2018.
Dari data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan pembiayaan perekonomian dalam negeri melalui fintech tumbuh 274% secara year on year (yoy) per Juni 2019. Meskipun pembiayaan melalui fintech yang terkecil di antara sumber pembiayaan lainnya, namun pertumbuhannya tercatat meningkat pesat dibanding sumber pembiayaaan lain, termasuk perbankan atau kredit bank umum yang hanya tumbuh 10,05% (yoy).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di satu sisi, menjamurnya fintech menjadi ancaman bagi masyarakat yang minim literasi keuangan. Sayangnya, jumlah masyarakat Indonesia yang minim literasi keuangan juga masih cukup tinggi.
Perlukah UU hadir untuk mengatasi ancaman tersebut? Baca informasi selengkapnya di sini:
"Inilah dunia baru Indonesia, bagaimana kita menuju dan memanfaatkan era ekonomi keuangan digital," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) sekaligus Ketua Umum Kafegama Perry Warjiyo saat membuka Indonesia Fintech Forum 2019 di Auditorium Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (4/9).
Kemajuan teknologi turut mengubah ekosistem di industri jasa keuangan. Kehadiran fintech juga mengubah bagaimana orang bertransaksi atau menggunakan uangnya.
Perry menjelaskan betapa fintech sangat melekat di kegiatan sehari-hari masyarakat saat ini. Mulai dari makan hingga mau pijat, hanya tinggal klik dari smartphone yang dimiliki.
"Kalau dulu makan harus ke restoran, sekarang tinggal klik di HP. Yang perlu duit investasi dulu harus ke investor, sekarang tinggal klik. Yang dulu mau selesaikan pembayaran harus ke bank, sekarang tinggal klik. Bahkan yang mau pijat tinggal di HP," kata Perry.
Fintech juga masuk ke sektor riil. Salah satunya dengan hadirnya fintech Tanihub yang kini mendekatkan petani dengan konsumen sebagai end user.
"Kalau jualan beras sekarang semua ada anak-anak muda yang kembangkan startup," jelasnya.
Perry mengatakan bahwa semua kemudahan yang ada saat ini baru permulaan. Dia yakin masih ada banyak kemudahan lainnya yang akan dihadirkan melalui fintech.
"This is just the beginning. Ini menandakan ekonomi keuangan digital akan semakin berkembang. Ini akan semakin mendorong inklusi keuangan," katanya.
Salah satu tantangan yang perlu diperhatikan dalam perkembangan industri fintech adalah kemungkinan fintech digunakan untuk praktik pencucian uang.
"Perkembangan fintech rentan risiko pencucian uang," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam acara yang sama.
Selain itu, tantangan lainnya yang dihadapi dalam perkembangan industri fintech adalah bagaimana regulator dan otoritas bisa mengantisipasi fenomena monopoli pasar. Fenomena ini pernah terjadi pada industri dagang online alias e-commerce.
Untuk itu, dia mengingatkan agar pemerintah dan otoritas mengantisipasi sejumlah tantangan yang muncul dari pengembangan fintech.
Fintech sendiri diyakini akan menjadi sumber penciptaan lapangan kerja-lapangan kerja baru di masa depan. Fintech diyakini bukan lagi disrupsi seperti di awal kedatangannya, melainkan masa depan industri keuangan dunia yang melahirkan banyak kesempatan baru.
"Fintech secara umum adalah job masa depan. Memang sekarang ada yang sudah ditinggalkan dan bahkan tidak muncul lagi, tapi banyak juga yang datang. Fintech adalah area di mana job masa depan akan terus diciptakan," katanya.
Fintech juga telah terbukti lebih ampuh mendorong inklusi keuangan dibanding perbankan. Hal ini dibuktikan lewat minimnya keaktifan transaksi rekening bank masyarakat yang telah mendapatkan bantuan sosial.
"Fintech lebih ampuh mendorong keuangan inklusif. Dalam penyaluran bantuan sosial, bank bisa membantu membuka rekening, tapi sedikit sekali yang sebenarnya rekeningnya aktif. Pokoknya rekeningnya itu cuma ada saja. Inklusinya kurang dalam," kata Darmin.
Salah satu ancaman yang terasa saat ini lewat maraknya fintech terjadi pada sektor pinjaman online atau peer to peer lending yang tak teregistrasi alias ilegal. Pinjaman online ilegal menjadi ancaman bagi masyarakat yang minim literasi keuangan dan digital karena bisa terjebak dalam pusaran utang.
"Memang tantangan yang kita hadapi masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita. Baik literasi digital, literasi umum pun masih jauh dari angka indeks inklusi kita. Baru 35% orang dewasa yang melek jasa keuangan," kata Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar dalam acara yang sama.
Edukasi secara terus menerus memang dilakukan. Namun penetrasi edukasi baik dari pelaku fintech dan juga regulator perlu lebih ditingkatkan.
"Intensitasnya memang perlu lebih ditingkatkan," katanya.
Di lain hal, fintech juga telah membantu banyak masyarakat Indonesia saat ini yang belum tersentuh oleh perbankan. Dari data OJK, 127 fintech P2P lending yang teregistrasi di OJK saat ini, tercatat jumlah kredit yang sudah disalurkan mencapai Rp 49 triliun. Jumlah borrower saat ini juga mencapai 5 juta orang dan 500 ribu investor atau lender.
OJK mendorong pembentukan undang-undang (UU) khusus yang mengatur tentang financial technology termasuk terhadap jasa pinjaman online abal-abal atau fintech ilegal. Beleid tersebut diharapkan bisa menjelaskan posisi fintech dalam industri jasa keuangan serta mengatur tata kelolanya.
"Kita akan membuat legal framework untuk fintech. Fintech ini kan masih di grey area. Perlu dibuat kerangka legal yang kuat sehingga law enforcementnya lebih mudah," kata Batunanggar.
Dengan undang-undang tersebut, maka para pemain fintech termasuk yang ilegal dan tidak terdaftar di OJK bisa segera diproses secara hukum jika terbukti melanggar aturan. Hal ini didorong dengan masih maraknya fintech ilegal yang beroperasi meski regulator dan para stakeholder terus melakukan pemantauan dan pengawasan.
"Intinya bagaimana kedudukan hukum dari fintech sehingga jelas. Karena dia kan lembaga non keuangan. Artinya dia hanya platform. Tunduk kepada UU mana dia, itu harus ditegaskan. Lalu cakupan bisnisnya apa, jenis bisnis yang boleh dan tidak boleh apa, apa kegiatannya, apa kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dan siapa regulatornya," kata Batunanggar.
Pembentukan UU khusus ini sendiri masih berupa wacana. Namun dia berharap hal ini bisa segera dibahas dengan dewan.
"Kita harapkan kolaborasi ke depan bisa jadi prioritas. Di DPR kan masih banyak yang jadi prioritas di Prolegnas," ungkapnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman