20 Tahun Berdiam Diri, Eks Bos Bank Bali Cari Keadilan

Wawancara Khusus Eks Bos Bank Bali

20 Tahun Berdiam Diri, Eks Bos Bank Bali Cari Keadilan

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 05 Sep 2019 10:00 WIB
1.

20 Tahun Berdiam Diri, Eks Bos Bank Bali Cari Keadilan

20 Tahun Berdiam Diri, Eks Bos Bank Bali Cari Keadilan
Foto: Eks Bos Bank Bali Rudi Ramli - Dok Pribadi
Jakarta - Mungkin sebagian orang sudah lupa dengan nama Rudy Ramli. Dia adalah mantan bos Bank Bali yang perusahaannya dilucuti hingga akhirnya melebur menjadi Bank Permata.

Setelah 20 tahun berlalu semenjak kasus Bank Bali booming, kini Rudy muncul lagi ke publik, dalam misi untuk mencari keadilan baginya.

Nama Bank Bali ramai diperbincangkan saat kasus skandal hak tagih piutang (cessie) yang membuat Rudy sempat mencicipi hotel prodeo. Kasus itu melibatkan PT Era Giat Prima (EGP), perusahaan milik Setya Novanto dan Djoko Tjandra yang ditunjuk untuk menagih utang itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Singkat cerita, proses penagihan itu berbelit hingga akhirnya muncul skandal cessie.

Tapi misi yang dijalankan Rudy saat ini bukan terkait kasus itu. Ada konspirasi lain yang membuat dirinya harus merelakan bank milik keluarganya itu. Konspirasi itu melibatkan Standard Chartered Bank (SCB).

detikcom berkesempatan untuk berbincang dengan Rudy untuk menceritakan terkait misinya tersebut. Berikut wawancara lengkapnya:

Anda bilang ada konspirasi yang bermula saat Anda menandatangani perjanjian kertas kosong dengan SCB, apa maksudnya?
Ya memang saya waktu itu tanda tangan di kertas putih tanggal 22 April 1999. Dan kalau dipikir-pikir sekarang, kok waktu saya teken kertas putih itu saya diam saja. Kalau otak saya jalan, waktu itu saya bisa saja ambil mic kan banyak wartawan saat itu. Ya tinggal saya bilang kami tanda tangan kertas kosong. Saya enggak tahu kenapa saya diam saja. Saya sadar itu kertas kosong.

Saya enggak pernah diajak negosiasi. Itu perjanjiannya ada versi A, B, C, D dan E. Ada 5 versi. Dan kelima versi itu semuanya sama adalah 3 bulan di Standard Chartered Bank untuk bisa due diligence terhadap Bank Bali. Yang gilanya lagi kan itu habisnya 22 Juli 1999. Saat itu kita kejar terus ke Standard Chartered Bank dan BPPN ini mau gimana sudah hampir 3 bulan. Akhirnya kita dibuai, oh Bos Standard Charterednya mau datang. Benar datang tanggal 22 Juli kita diundang makan ke ballroom Shangrila Hotel, ada ratusan orang diundang ke sana.

Saya nggak tahu kenapa, saya saat itu dapat undangan dari teman dekat saya yang diangkat sebagai KSAL di Surabaya. Jadi saya enggak penuhi undangan itu. Tapi ada direktur dan komisaris saya yang hadir. Eh malam itu dapat surat dari BI selamat ya bank anda di-BTO-kan, diserahkan ke BPPN. Jadi mereka sengaja melakukan pesta. Dan itu BTO berdasarkan rekomendasi Standard Chartered Bank. Intinya sudah lah Bank Balinya di-BTO-kan saja, supaya mereka hanya negosiasi sama PPPN saja. Enggak usah ada Keluarga Ramli lagi.

Terkait kasus Cessie bank itu apa kaitannya?
Itu sesudah kejadian itu. Jadi 12 Januari 1999 saya tanda tangan dengan EGP. Tanggal 12 Maret 1999 saya tandatangan dengan GE Capital, dia mau rekap Bank Bali. Lalu tanggal 22 Maret 1999 saya kacau. Lalu 22 Juni 1999 pesta-pesta itu. Sejak saat itu saya enggak boleh masuk Bank Bali, saya dianggap kriminal.

Soal cessie, itu kan mulainya 12 Januari 1999, kemudian pada tanggal 12 April sudah habis kontrak. Si EGP ini hanya menunggang. Jadi dalam Bank Bali ada konspirasinya EGP, dia hanya menunggang. Dia melihat saya ada tagihan yang enggak keluar-keluar dia nunggang untuk dapat duit. Itu semua orang sudah tahu. Tapi yang orang enggak tahu di bawah konspirasi itu ada konspirasi lain lagi. Konspirasi Standard Chartered Bank. Ini yang orang enggak tahu, ini yang membuat saya kehilangan Bank Bali.

Jadi yang cessie konspirasi untuk dapat piutang saya, sementara konspirasi satu lagi untuk dapat Bank Balinya. Konspirasi yang itu yang orang banyak enggak tahu.

Saya mencari jalan keluar agar uang ini balik, karena kalau sudah dapat saya bisa buat menutupi kebutuhan dana. Jadi saat sudah expired itu belum cair. Itu baru berhasil di 1 Juni 1999. Waktu mereka kasih tau saya ini duitnya akan keluar, saya bilang ini sudah expired, saya enggak mau. Tapi ini konspirasi lain, saya enggak mau dicampuradukan.

Anda saat ini sedang dalam misi mencari keadilan terkait konspirasi Standard Chartered Bank saja?
Iya, karena yang satu lagi itu di mata saya sudah beres semuanya. Saya sudah bilang dengan Pak Djoko untuk apa si kejar uangnya Bank Bali, kan bapak orang kaya. Ya sudahlah lupain. Ya masyarakat juga sudah tahu masalah itu. Itu masalahnya kan campur baur dengan politik. Tapi ya sudah saya sudah tak mau pikirkan itu lagi.

Setelah Anda kehilangan Bank Bali bagaimana kelanjutannya?
Ya setelah BTO itu baru meledak kasus cessie itu. Jadi semua orang fokusnya ke kasus itu. Harusnya saya mengurusi urusan BTO untuk tuntut ke pengadilan dan lainnya, itu saya jadi enggak bisa karena saya mengurusi masalah yang itu. Setelah kasus cessie mereda, saya baru menuntut ke PTUN di 2000. Kemudian 30 Maret 2000 keluar keputusan PTUN-nya memutuskan untuk membatalkan keputusan Gubernur BI tentang BTO penyerahan Bank Bali ke BPPN. Dengan keputusan itu maka batal pula keputusan Bank Bali sebagai bank take over.

Setelah batal saya diminta ketemu dengan Kepala BPPN saat itu Pak Cacuk Sudaryanto. Dia bilang dia mengerti, akhirnya dia meminta damai. Tapi itu belum saya kasih tahu. Perjanjian damai itu akan menjadi bukti saya.

Saat itu status Standard Chartered masih memiliki Bank Bali?
Dia sudah diusir secara fisik oleh karyawan dari Bank Bali 11 November 1999 , Pada 22 Desember 1999 dia buat surat bahwa dia keluar atau mundur dari rencana ini.

Kabarnya ada pihak individu di balik konspirasi Standard Charetered Bank?
Saya enggak tahu orangnya siapa. Tapi ada tulisan dalam ... dia tulis bahwa Standard Chartered tidak ada capital komitmen investasinya di Bank Permata. Kalau bukan dia yang invest terus siapa? Tapi Bank Permata mengakui bahwa pemiliknya Standard Chartered. Ini yang saya minta diinvestigasikan.

Lalu apa tujuan Anda saat ini?
Ya tujuan saya ingin kembali mendapatkan Bank Bali dari Standard Chartered. Dulu kami memilili 55% saham Bank Bali. Sekarang saya sudah nggak punya sama sekali. Saya sengaja dihabisin. Dan Bank Bali itu enggak ada BLBI loh. Saat diambil alih saya enggak dapat apa-apa.

Bank Bali ini kan satu-satunya perusahaan bapak, bagaimana Anda bertahan hidup?
Ya saya bergantung dengan tabungan saya saja. Saya jadi hidup hemat. Ya tabungan saya cukup banyak tapi pengeluaran saya juga banyak. Saya sejak kerja di Bank Bali sudah dikasih uang lagi sama orangtua. Memang sejak saat itu saya menabung untuk investasi juga. Tapi setelah saya kehilangan Bank Bali harta saya hilang 80%. Apalagi saat itu saham Bank Bali juga anjlok.

Ya saya bisa hidup dari 20%. Tapi saya juga masih ada Alto, terus investasi kecil-kecil lain. Yaudah saya hidup dari situ saja.

Apa yang Anda rasakan ketika 80% kekayaan hilang?
Saya seperti orang linglung. Saya juga ingin bunuh diri. Badan saya sakit, kadang seperti mau serangan jantung, seperti angin duduk. Jadi saya lagi diam tiba-tiba rasanya dada saya seperti diinjak sama gajah besar. Saya cuma doa saja.

Apa yang sudah Anda lakukan?
Kita sudah ke KPK, ke BPK dan sudah kirim surat ke OJK. Kami juga berencana akan ke Kejaksaan. Kan Pemilu ini sudah selesai. Kita tahan diri agar tak mau buat gaduh. Tapi ini kan Standard Charterednya mau jual sahamnya di Bank Permata. Tapi kalau calon pembelinya sudah dikasih tahu bahwa ini bermasalah, setidaknya mereka jadi mikir-mikir. Kami sudah kirimi surat ke calon-calon pembeli saham Bank Permata.

Jika berhasil, apa yang akan Anda lakukan untuk Bank Bali?
Ya pastinya saya ingin mengembalikan Bank Bali seperti awal kami mendirikannya. Bank Bali dulu bermanfaat untuk pengusaha kecil. Tidak seperti bank dulu yang dibangun untuk membiayai proyek grup mereka. Kalau kami memang tidak punya grup usaha.



Hide Ads