Menanggapi hal tersebut Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon menjelaskan kedua perusahaan itu merupakan dua anggota dari AAJI. Menurut dia, sebelum Bank Dunia menyorot kedua perusahaan itu, pihak asosiasi juga sudah berkali-kali melakukan pembicaraan untuk pencarian solusi masalah.
"Bank Dunia menyinggung dua perusahaan asuransi anggota AAJI, kita sebelumnya sudah berkali-kali bicara dan ini jadi perhatian kita bersama. Menurut Bank Dunia rasanya urgensi penyelesaian masalah yang dihadapi anggota kita ini jauh lebih urgent," kata Budi dalam konferensi pers di Rumah AAJI, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi mencontohkan jika ada perusahaan asuransi jiwa yang bermasalah, pada prinsipnya lebih baik diselesaikan tahun ini daripada tahun depan, karena bisa lebih berat. Lebih cepat penyelesaian lebih baik.
"Kami mengharapkan pihak terkait itu segera bisa mengambil solusi atau tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan dua masalah ini. Tapi dalam diskusi AAJI salah satu hal yang diutamakan adalah kepentingan dan hak pemegang polis," jelas dia.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menjelaskan pihak Bank Dunia tak pernah berdiskusi dengan AAJI terkait paparan tersebut. Dia menjelaskan seharusnya pihak Bank Dunia tidak merekomendasikan pengawasan.
"Tadinya kami pikir kalau mereka mengeluarkan rekomendasi harusnya memberi solusi, Bank Dunia kan bukan kelas kaleng-kaleng, jadi mereka harusnya bisa lebih positif, kita nggak ngerti arahnya ke mana," ujarnya.
Sebelumnya dari presentasi itu disebutkan meski dinilai aman terhadap guncangan resesi ekonomi yang belakangan membayangi sejumlah negara, namun pihak Bank Dunia melihat ada dua sektor di ranah keuangan Indonesia yang membutuhkan penanganan segera.
Pertama, adanya penguasaan 88% aset perbankan oleh konglomerasi keuangan. Kedua, lemahnya sektor asuransi Indonesia terutama dalam kasus gagal bayar AJB Bumiputera 1912 dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Pengamat Asuransi, Herris Simanjuntak mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak sigap dalam menangani masalah Bumiputera dan Jiwasraya. "Itukan AJB Bumiputera dan Jiwasraya asuransi yang size papan atas yang jumlah preminya triliunan, kemudian pemegang polisnya jutaan. Sehingga kalau dia bermasalah, maka gangguannya bukan cuma gangguan di Industri perasuransian tapi juga di industri keuangan. Makanya diperingatkan," tutur Herris saat dihubungi detikcom, Rabu (11/9/2019).
Tak seharusnya OJK terus mengulur waktu untuk proses penyelesaian. Sebab, liabilitas perusahaan terus berjalan. "Apalagi AJB Bumiputera. Katanya dia beroperasi, tapi berapa sih premi yang masuk? Sementara tanggungjawabnya kan dia jalan terus. Nah ini, namanya solvabilitasnya itu groak atau bolongnya itu, kalau makin diulur, makin dalam," katanya.
Untuk Asuransi Jiwasraya, perseroan akan mengeluarkan produk baru melalui skema kerja sama dengan perusahaan reasuransi atau dikenal dengan financial reisurance (FinRe). Ini untuk memperbaiki likuditas perusaahaan. Saat ini, perseroan tengah menunggu restu dari OJK.
"Kalau ada rencana seperti itu jadi atau nggak jadi dibuat, OJK harus jelaskan. Jadi diterima atau tidak, kenapa ditolak atau tidak mesti dijelaskan semuanya. Kalau inikan hanya berdiam diri saja nih," jelasnya.
(kil/zlf)