"Dengan UU KPK yang lama saja untuk menangkap mafia migas butuh waktu 4 tahun. Apalagi dengan revisi UU ini bisa 10 tahun," terang Fahmy di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Fahmi mencontohkan kasus mantan Direktur Utama Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) Bambang Irianto yang baru saja ditetapkan KPK sebagai tersangka mafia migas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: KPK Dilemahkan, Ekonom: Doomsday |
Menurut Fahmy, dalam menjaring mafia migas ini butuh usaha yang tinggi bagi KPK. Pasalnya, kasus mafia migas ini merupakan korupsi dengan jumlah uang yang sangat besar, yang melibatkan mafia canggih dan melibatkan korporasi internasional.
"Untuk mengungkap indikasi korupsi pada migas itu tidak mudah dan itu diakui KPK. Kenapa sulit? Karena dibalik itu kan uang besar. Kemudian melibatkan mafia migas yang sudah sangat canggih dan melibatkan korporasi internasional dan biasanya lokasinya di luar negeri," terang Fahmy.
Maka, jika KPK perlu izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan yang merupakan salah satu poin revisi UU KPK, hal tersebut akan memperlambat dan menyulitkan kinerja KPK dalam menjaring mafia migas.
"Dengan kondisi itu KPK akan mengalami kesulitan apalagi kalau kemudian dengan revisi UU ada Dewan Pengawas. Kalau penyidik mau menyelidiki aliran dana, kemudian tidak mendapat izin atau izinnya lama itu akan memperlambat KPK mengusut penyimpangan atau potensi korupsi yang ada di migas, baik di hulu, midterm, maupun di hilir," bebernya.
Selain izin penyadapan, adanya kebijakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun di dalam revisi UU KPK, tentunya akan banyak membebaskan tersangka mafia migas yang masih dalam penyelidikan mengingat kesulitan KPK dalam menjaring mafia migas.
"Ini saya khawatirkan adanya moral hazard dengan penggunaan SP3. Misalnya lagi diusut butuh waktu lama, kemudian sudah melewati dua tahun kemudian dibebaskan. Ini akan semakin banyak orang yang dibebaskan dengan menggunakan SP3 tadi," jelas Fahmy.
(dna/dna)