Berdasarkan data dari Pemerintah, kapasitas fiskal negara ternyata hanya mampu menyediakan 2% (dua persen) dari total APBN untuk membangun rumah (Rusun, Rusus, Rumah Swadaya dan Stimulan PSU).
Artinya hanya menjangkau 30 %(tiga puluh persen) dari nilai kebutuhan perumahan subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Pra Sejahtera (MPS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian juga soal akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan yang masih sangat rendah. Angkanya, ratio outstanding KPR terhadap GDP masih rendah hanya sekitar 2,9%. Relatif tertinggal dari negara ASEAN lainnya (Thailand 22,3 %, Malaysia 38,4 %).
Padahal, dari sisi ekonomi, industri perumahan dan pembangunan perkotaan (properti) itu, efektif menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi karena menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan menumbuhkan lebih seratusan jenis industri turunan. Mulai dari bahan bangunan sampai sediaan furniture-nya.
Faktanya, data defisit Perumahan di tahun 2019 sebesar 7,63 juta unit (backlog kepemilikan) dan 2,38 juta unit rumah tidak layak huni, akibat bencana alam dan luas permukiman kumuh sebesar 10.000 Ha. Data tersebut belum mencakup perkembangan rumah tangga baru menikah setiap tahunnya yang membutuhkan rumah sebanyak +/- 700.000 unit.
"Karena itu diperlukan upaya upaya untuk mengefektifkan urusan perumahan dan pembangunan perkotaan dengan memperhatikan hambatan dan tantangan yang aktual," ujar Muhammad Joni, Sekretaris The HUD Institute kepada detikcom, belum lama ini.
Upaya yang bisa dilakukan, sambung dia, adalah dengan memperkuat kelambagaan soal penyediaan rumah. Artinya, perlu ada lembaga yang benar-benar fokus untuk mengurusi masalah perumahan ini.
Lembaga itu juga harus mendapat dukungan penuh baik secara pendanaan termasuk soal ketersediaan tenaga ahli yang mampu mencari solusi sehingga RI bisa keluar dari masalah kekurangan rumah rakyat.
"The HUD Institute berpendapat pentingnya misi mengokohkan urusan dan kelembagaan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan ini guna meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai sebagaimana mandat konstitusi," tandasnya.
Langkah Pemerintah
Terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan jurus pemerintah untuk memberikan rumah murah buat masyarakat. Caranya, dengan membuat program satu juta rumah.
Sri Mulyani memaparkan, program satu juta rumah ini ditargetkan untuk masyarakat pendapatan rendah. Peran pemerintah sendiri lewat pemberian insentif untuk membeli rumah, sehingga harganya murah.
"Program satu juta rumah ini pemerintah mengincar masyarakat pendapatan rendah, APBN step in masuk dan itu melalui berbagai channel kita bisa berikan insentif," kata Sri Mulyani di acara Rakornas Kadin Bidang Properti, di Hotel Intercontinental, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Dia menyatakan insentif yang diberikan pemerintah menyasar pada subsidi untuk bunga yang kecil, hingga uang muka murah untuk mencicil rumah. Sri Mulyani menegaskan program ini dilakukan untuk masyarakat penghasilan Rp 5 juta per bulan.
"Kita bikin subsidi selisih bunga, kita berikan subsidi bantuan uang muka juga, bahkan bunga direndahkan 5% 20 tahun fix. Pokoknya siapa masyarakat pendapatan dibawah Rp 5 juta bisa cicil rumah dengan uang muka rendah," papar Sri Mulyani.
Bukan cuma buat masyarakat yang mau beli rumah saja, hal itu juga dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan permintaan rumah. Pasalnya, kalau permintaan rumah sedikit, pengusaha yang dirugikan.
"Insentif diberikan pemerintah untuk dorong demand side juga buat pengusaha. Soalnya kalau itu lemah jadi penyebab lambatnya pertumbuhan properti," kata Sri Mulyani.
(dna/dna)