-
Pinjaman online (pinjol) kini menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan akses kredit selain bank dan lembaga pembiayaan. Selain itu pinjol ini disebut memiliki syarat yang mudah.
Namun untuk pinjol yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki penilaian terhadap calon penggunanya. Berbeda dengan pinjol ilegal yang selalu menerima permohonan calon peminjam asalkan diizinkan mengakses kontak dan galeri
.
Direktur Pelayanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus Fajri Zam menceritakan saat ini memang ada masyarakat yang memanfaatkan kemudahan meminjam uang di fintech. Namun dia menyebut, di balik setiap kemudahan akan selalu ada biaya yang harus dibayar.
"Ada yang harus dibayar kalau mudah itu, misalnya di pinjol itu kan gampang sekali, pencet-pencet langsung berhasil dan masuk pinjamannya," kata Agus di Fintech Summit JCC, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Dia menjelaskan, seharusnya masyarakat harus memastikan aplikasi pinjaman online yang akan digunakan atau aplikasi yang terdaftar di OJK. Karena, fintech legal itu tunduk pada aturan regulator dan memiliki ketentuan bunga, denda sampai penagihan.
"Kalau yang ilegal itu bunganya terserah dia dan terkesan sembarangan, bunga 7% sehari, potongan administrasi 40%. Kalau legal kan tidak, mereka ada batasan dalam aturannya," imbuh dia.
Agus meminta kepada masyarakat yang akan meminjam uang dari fintech untuk membaca syarat dan ketentuan yang ada dalam perjanjian pinjam-meminjam tersebut. Dalam kontrak tersebut biasanya terdapat aturan-aturan atau jumlah besaran bunga yang akan diberlakukan. Selain itu, dalam kontrak biasanya juga dijelaskan pengaksesan database ponsel pengguna.
"Kalau ilegal itu dia akan minta izin masuk ke dalam kontak, kalau kita tidak kasih izin ya tidak akan ada pinjaman itu. Tapi sekarangkan terpaksa selalu pilih iya mengizinkan. Nah di situ celahnya, mereka masuk dan mengirimi pesan semua orang yang ada di kontak," jelas dia.
Dia menjelaskan, jika hal ini sudah terjadi maka OJK hanya bisa meneruskan kasus ke pihak kepolisian. Pasalnya fintech ilegal bukanlah ranah OJK karena masuk dalam kasus penipuan dan pengancaman sampai teror.
Menurut Agus, banyak masyarakat yang meminjam uang di fintech ilegal dengan jumlah lebih dari 2 kali pendapatannya. Dia menyebut ini merupakan masalah yang besar untuk pengguna tersebut.
Pinjol ini sebenarnya juga diharapkan bisa membidik masyarakat yang tidak terjangkau oleh layanan bank. Namun, dalam praktiknya banyak fintech ilegal yang berkeliaran dan meresahkan masyarakat.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan ada beberapa perbedaan yang sangat mencolok untuk fintech ilegal dan fintech legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya, untuk fintech yang terdaftar mereka memiliki aturan untuk memberikan bunga dan denda kepada nasabah.
"Kalau yang legal itu mereka tidak jor-joran memberikan kredit tapi ada penilaian atau skoring untuk calon peminjamnya," kata Tongam dalam acara Fintech Summit & Expo di JCC, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Dia mengungkapkan, sedangkan untuk fintech ilegal tak tunduk pada aturan regulator. Fintech ilegal ini memberikan bunga yang sangat besar bahkan hingga 7% per hari dan biaya administrasi sampai 40%. Jadi jika anda meminjam Rp 1 juta maka akan diberikan hanya Rp 600.000.
Tongam mengungkapkan untuk fintech legal memiliki aturan denda yang terbatas maksimum penagihan 90 hari. Sedangkan untuk yang abal-abal denda tak terbatas bisa sampai berpuluh-puluh juta.
"Jebakan fintech online ilegal ini memang ngeri. Karena sangat mudah pinjamnya tapi kontak diakses dan ini yang sangat mengancam," imbuh dia.
Menurut dia satu-satunya cara untuk memerangi fintech ilegal ini adalah dengan tidak mengakses aplikasi tersebut. Karena memang kemunculan aplikasi tersebut tak bisa dibatasi. Dia mengatakan, jika fintech ilegal tersebut tak digunakan, lama-lama peredaran akan habis dengan sendirinya.