Apa lagi, akhir tahun lalu terungkap sederet BUMN dengan utang yang cukup besar. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan Kementerian BUMN pada 3 Desember 2018 lalu.
Salah satu BUMN sektor konstruksi, PT Waskita Karya (persero) buka suara soal kabar keuangan BUMN yang dikabarkan 'berdarah-darah' tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selengkapnya di sini:
Pertama-tama saya harus jelaskan dulu soal utang itu. Karena yang menjadi isu dan selalu beda pendapat adalah utang menurut kita dengan utang menurut mereka, baik pengamat maupun moodys atau lembaga rating internasional.
Pertama adalah utang interest bearing debt (IBD).
Apa itu utang IBD?
Kalau utang interest bearing debt kita sampai dengan semester I Juni, itu hanya Rp 77,2 triliun. Jadi Rp 77,2 triliun ini adalah interest bearing debt, yaitu utang yang mengandung porsi bunga.
Inilah yang dijadikan standar oleh kita dalam penerbitan obligasi, dan ini yang selalu dijadikan acuan oleh para investor ketika menilai debt equity ratio Waskita.
Lantas apa beda utang IBD dengan yang dilaporkan oleh Kementerian BUMN kepada DPR?
Sementara kalau kita lihat yang sering di-statement oleh orang lain atau dari rating internasional itu lebih kepada total, total utang kita, Rp 103,72 triliun.
Apa saja isinya? Isinya itu ada utang usaha, utang pajak, kemudian ada utang bank. Itu sudah campuran di sini. Inilah yang kadang kita beda persepsi dengan angka.
Kenapa posisi utang itu perlu dibedakan?
Kalau menggunakan standar utang Rp 103,72 triliun, itu kan ada utang usaha. Harusnya ini (piutang usaha) dijadikan sebagai pedoman atau pengurang, piutang kita. Kemudian kita punya juga piutang bruto Rp 32 triliun.
Kenapa saya bilang begitu? Utang yang timbul yang tadi total liabilities total utang itu, adalah akibat dari proyek yang kita kerjakan secara turnkey (pembayaran proyek yang dilakukan saat proyek selesai dikerjakan). Dan yang kita kerjakan secara konvensional.
Kan kita kerjakan dulu sehingga belum dibayar. Kan itu jadi utang (kepada sub kontraktor pelaksana proyek). Padahal kita punya tagihan juga (piutang dari investor pemberi proyek), harusnya kan dikomparasikan ke sana (dibandingkan antara utang ke sub kontraktor dengan piutang dari pemberi proyek).
Nah yang menurut saya tidak adil adalah, ketika pengamat utang kita Rp 103 triliun itu compare ke equity menjadi tinggi, itu selalu kita menyebutnya unbalancing.
Karena tidak memperhitungkan tadi, utang usahanya dihitung, tapi piutangnya tidak dihitung.
Dengan acuan IBD tadi, maka berapa utang yang sebenarnya jadi tanggungan Waskita?
Saat ini piutang kita ini kan Rp 36 triliun, kemudian kita ada aset (lancar lain) Rp 22 triliun. Atau bicara cash Rp 10 triliun, cash ini kan pengurang. Rp 10 triliun ditambah Rp 36 triliun, berarti kan Rp 46 triliun.
Rp 103 triliun dikurang Rp 46 triliun berapa? Kan cuma 50-an, lebih rendah lagi kan.
Jadi Rp 103 triliun dikurangi Rp 46 triliun itu cuma ketemu Rp 54 triliun, jauh di bawah total interest bearing debt (IBD).
Dengan perhitungan tersebut, berarti utang Waskita masih aman?
Sangat Aman
Apa Waskita bisa melunasi utang-utangnya?
Sangat bisa, sangat bisa. Jadi kalau kita menghitung debt equity yang IBD Rp 77,2 triliun, ini ada 2,68 kali (rasio utangnya), ini lebih tinggi. Jadi kalau mau fair, pakai saja 2,68 kali, 77,2 plus 28 IBD. Ini tinggi benar, karena proyek kita turnkey (pembayaran proyek yang dilakukan saat proyek selesai dikerjakan).
Besok kalau tol Sumatera cair Rp 13 triliun, kemudian Japek Elevated cair Rp 4,5 trilun, Kunciran-Parigi cair Rp 2 triliun, terus Cinere-Serpong Rp2,7 triliun, itu ada Rp 22 triliun. Belum yang lainnya, belum dana talangan tanah Rp 2 triliun.
Ini saja baru yang gede proyeknya, belum yang kecil. Ini sudah Rp 22 triliun, kita akan terima sampai Desember 2019 ini, belum yang kecil-kecil kan masih ada, seperti Cilincing-Tanjung Priok meski bukan turnkey.
Kalau kita bicara utang usaha Rp 13,6 triliun, ini kan masih bisa dicover oleh jumlah tagihan kita. Belum yang lain.
Jadi utang ke sub-kontraktor bisa dibayarkan dengan pendapatan dari owner atau pemilik proyek?
Iya, penerimaan termin-termin ini, ada pembayaran cash, ada piutang, ada piutang bruto yang begitu proyek selesai akan dikuitansikan dan ditagihkan. Jadi sangat aman, tak ada isu. Even utang bank juga bisa kita selesaikan, hanya saja ini belum masuk kita bicara penjualan tol, masih murni operasional. Nah ini juga kita masih bisa cover.
Karena kebanyakan dari bank ini pinjaman jangka panjang. Karena untuk kredit investasi di tol. Jadi nggak perlu dilunasi sekarang itu. Nanti setelah periodenya, misalkan tahun ke-7, tahun ke-10.
Apa buktinya kalau keuangan Waskita masih baik dan tidak 'berdarah-darah'?
Sebenarnya dibanding yang lain sebetulnya kita tak ada isu tentang pembiayaan. Kenapa? Kalau kami bermasalah, sebetulnya bank tak akan kasih pinjaman, itu saja sebenarnya. Karena mitigasi risiko yang paling ketat di perusahaan Indonesia itu adalah perbankan. Kami dengan sejumlah pinjaman sampai dengan Rp 77 triliun itu sudah menggambarkan. Dan kita saja mau dikasih pinjaman lagi oleh BNI ini Rp 1 triliun.
Boleh dijabarkan utang berbunga Waskita Rp 77,19 triliun terdiri dari utang apa saja?
Isinya pinjaman bank, obligasi, utang bank, utang jangka pendek dan jangka panjang. Utang jangka pendek bank itu misalnya utang bank yang durasinya satu tahun. Kalau utang bank jangka panjang itu kredit investasi yang tadi tol itu. Kemudian obligasi 3-5 tahun itu masuknya jangka panjang.
Jadi kalau mau dipecah sebetulnya jangka pendeknya lebih kecil dibanding jangka panjang. Artinya lebih banyak utang bank kita itu durasinya jangka panjang.
Kalau dibandingkan dengan total aset dan equity Waskita masih dalam status aman?
Masih tercover, masih aman sebetulnya, tak ada isu.
Tapi DPR menyebut BUMN berdarah-darah karena utangnya bengkak?
Karena yang dilihat Rp 103 triliun ini. Dan kenapa dibilang membengkak, ini dari 2014 sebagai contoh. Utang tahun 2014 Rp 9,7 trilun terus membengkak menjadi Rp 103, ini ada salah satu media yang menulis. Ya kalau perusahaan besar harus begitu.
Bisa dilihat, aset kita dulu hanya Rp 12 triliun, sekarang? Rp 132 triliun. 77,5% itu pertumbuhan asetnya. Terus ekuitas kita, tahun 2014 hanya Rp 2 triliun, sekarang Rp 28 triliun, ya membengkak. Tapi kan semua juga membengkak, ya usaha harus seperti itu. Kalau mau aman ya segitu.
Artinya kenaikan utang berkaitan dengan kenaikan investasi yang dilakukan?
Bagaimana utang mau kecil kalau investasinya jalan tol? Perusahaan yang maju kan harus begini. Jadi nggak usah takut terjadinya pembengkakan utang, nggak perlu.
Yang penting ini bisa dicover dengan aset kita. Yang dalam bentuk piutang, cash, saya belum bicara aset yang lain. Masih ada aset tol kita yang belum dihitung. Investment kita Rp 70 triliun, intangible aset (aset tak berwujud) kita Rp 40 trliun. Tol kita ini ada 47, kalau ini kita jual semua selesai. Kan gitu gampangnya.
Nah mudahnya current ratio aset kita Rp 132 triliun itu bisa mengcover seluruh utang kita yang Rp 103 triliun.
Taruh saja fix asset kita dikurangi Rp 7 triliun, tinggal Rp 125 triliun, masih bisa mengcover (utang) Rp 103 triliun.
Dengan kata lain asetnya Waskita sendiri lebih besar dari pada utang?
Yes, that's right. Jadi selama ini yang dilihat komparasinya selalu di bawah, total liabilities selalu dengan equity. Ini nggak apple to apple karena total liabilities ini sebetulnya masih ada uang yang mau kita terima. Ini saja 3 komponen. Jadi relatif aman, tak ada isu.
Beralih ke rencana Waskita Jual Jalan tol. Benarkah Waskita jual jalan tol?
Saya ingin mendidik masyarakat bahwa kalau kita menjual tol itu bukan aset yang dijual, kan sering mendengar dulu berita BUMN menjual aset negara dalam bentuk tol. Padahal yang dijual bukan aset, karena aset tetap milik negara. Karena yang membebaskan tanah itu negara.
Nah, kita diberi hak untuk mengelola karena kita mengeluarkan biaya untuk investasi. Mengelola ini dengan segala risiko. Jadi kalau perjanjian konsesi ini sampai 20 tahun, baru menginjak 3 tahun mau dijual, yang dijual ini adalah konsesi. Jadi menjual hak kelola misalnya sisa 17 tahun.
Itu yang saya maksud mendidik masyarakat bahwa yang kita jual ini bukan aset negara, tapi konsesi. Jadi jual tol ini adalah jual konsesi. Jadi hak pengelolaannya saja yang dijual.
Konsesi tol mana saja yang akan dijual? Apakah sudah mencapai kesepakatan?
Deal belum, tapi ada yang sudah tahap akhir, itu untuk ruas Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono. Ini tahap akhir.
Konsesinya Waskita dari dua ruas tersebut berapa persen?
Empat puluh persen. Persentase kepemilikannya 40%.
Mau dilepas semua?
Semua.
Jadi uangnya Waskita akan bertambah banyak dalam waktu dekat ini dari menjual konsesi?
Ya kan tadi saya bilang belum masuk itu. Belum dihitung. Sudah konstruksinya kita bagus, terus mau kita jual lagi ini. Jadi ke depan kita tidak mau menjadi operator full, jadi bisnis baru Waskita itu membangun kemudian menjual. Nah tol itu salah satu jenis bisnis baru atau properti jalan tol.
Dari 40% konsesi di ruas Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono ini Waskita menyuntikkan berapa?
Kalau equity yang kita suntikkan totalnya Rp 1,7 triliun di dua ruas itu. Dengan porsi 40% kita.
Berapa pendapatan yang diharapkan bisa diperoleh dari penjualan konsesi dari dua ruas tersebut?
Belum bisa diexpose. Karena pembelinya perusahaan Tbk, kalau belum perjanjian dia tidak mau.
Selain dua ruas ini apakah Waskita ada rencana menjual konsesi tol ruas lain?
Pipeline kita sudah pernah kita sampaikan di press conference dengan OJK. Yang sudah advance prosesnya adalah dua ruas ini. Nah yang tiga ruas lagi sedang dalam proses due diligence. Terus yang dua ruas lagi juga peminatnya sudah menyampaikan minatnya ke kita. Jadi totalnya yang sedang dalam proses itu 7 ruas.
Penjualan konsesi 7 ruas tersebut ditargetkan tahun ini semua rampung?
Kita harapkan tahun ini, tapi tergantung mereka. Kalau timeline kita di Desember harus sudah selesai. Balik lagi evaluasinya dengan mereka cocok atau tidak.
Apakah sudah ada espektasi pendapatan Waskita dari penjualan konsesi?
Ada tapi saya belum bisa expose, yang jelas di atas itu. Kita belum berani rilis itu.
Menyinggung soal rencana aksi korporasi perusahan. Kabarnya Waskita ingin menerbitkan obligasi untuk memenuhi sejumlah kebutuhan investasi? Berapa total nilai obligasi yang tahun ini bakal diterbitkan Waskita?
Rencana awal yang mau kita terbitkan ini Rp 3,5 triliun. Pertama karena termin, jadi obligasi ini kan untuk menambah kebutuhan modal kerja kita.
Ternyata kan sampai dengan hari ini pun beberapa termin kita yang tadinya tidak kita expect masuk, malah kita akan menerima pembayaran. Nah sehingga obligasi yang sudah kita rilis ini masih kita lihat dulu apakah perlu kita terbitkan sekarang atau kita mundurkan. Karena kalau kita rilis obligasi sekarang maka timbul hutang dan kami wajib bayar bunga.
Kalau ternyata kebutuhan in-flow kami cukup untuk membiayai sampai dengan bulan Oktober, itu kita sudah tak perlu terbitkan obligasi. Artinya kita tunda dulu.
Yang kedua memang market sekarang sedang tidak bagus juga karena ada trade war Amerika, kemudian Brexit no deal. Kemudian juga ada kemungkinan perang di Timur Tengah. Ini marketnya sedang tidak bagus. Tapi terlepas dari market tak bagus sebetulnya ekspektasi cash in-flow kita yang sudah cukup untuk membiayai sampai dengan akhir tahun.
Memang berapa pendapatan yang bakal diperoleh Waskita dari pembayaran pekerjaan proyek hingga akhir tahun?
Jadi kita bulan depan terima dari Pemerintah atas LRT Palembang saja Rp 600 miliar, itu di bulan depan minggu kedua. Kemudian Kunciran-Parigi yang Rp 2 triliun itu juga kemungkinan awal bulan depan.
Lalu Tol Sumatera yang awal Oktober akan diresmikan Pak Presiden itu ownernya Hutama Karya, kontrak kita dengan mereka Rp 13 triliun, itu tahun ini akan dibayarkan oleh mereka.
Kemudian Tol Japek Elevated, Pak Menteri sudah ke sana akan diselesaikan bulan ini. Jadi ekspektasi kita akan cair Rp 4,5 triliun. Kemudian Cinere-Serpong Rp 2,7 triliun.
Ada yang lain belum kita hitung tapi kira-kira kita akan terima sekitar Rp 22,8 triliun lagi ini sampai Desember. Tapi kan ada proyek yang konvensional, dengan APBN dibayar rutin setiap bulan. Ini saya bicara turnkey saja, jadi proyek turnkey yang akan cair akhir tahun ini sekitar Rp 22,8 triliun. Itu belum termasuk nanti pengembalian dana talangan tanah. Kalau kita ekspektasi Rp 2 triliun saja, itu berarti kita masih terima Rp 24,8 triliun. Ini belum dari penjualan konsesi, saya belum bisa expose.
Kabarnya Waskita melakukan prakarsa atau mengusulkan pembangunan tol di dekat ibu kota baru?
Iya, jembatan Balikpapan-Penajam, Penajam-Balikpapan. Jadi tol berupa jembatan, seperti Suramadu.
Usulannya sudah dimasukkan ke pemerintah?
Sudah kita masukkan ke Kementerian PUPR, BPJT, untuk bidding. Kita inisiatornya.
Berarti prakarsa ini dari Waskita?
Iya. Menurut saya itu tidak ada masalah karena relatif tak ada pembebasan tanah. Kalau pun ada pembebas hanya sedikit karena itu menyeberangi teluk. Dan itu sudah feasibility studies (FS).
Usulannya BPJT nilai total proyeknya?
Ini mau ditender dulu, walaupun sedang proses. Jadi kalau angka belum bisa kita berikan informasinya kalau sedang proses bidding.
Untuk Waskita akan jadi investor tunggal di proyek Jembatan Tol tersebut?
Sementara masih kita, tapi sudah ada beberapa penawaran dari investor lokal maupun asing yang mau partisipasi. Tapi kita masih pelajari skema penawaran mereka. Sementara yang masih kita ajukan di anak perusahaan kita, WTR (Waskita Toll Road).
Panjangnya Jembatan Tol Balikpapan-Penajam berapa?
7 kilometer (km) bentangnya.