Jokowi Harus Lebih Realistis Pasang Target Ekonomi Periode Kedua

Jokowi Harus Lebih Realistis Pasang Target Ekonomi Periode Kedua

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 04 Okt 2019 17:44 WIB
Foto: (Andhika Prasetia/detikcom).
Jakarta - Hasil evaluasi RPJMN 2014-2019 menyebutkan bahwa target pertumbuhan ekonomi selama lima tahun di era kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK) tidak pernah capai target. Beberapa kalangan pun memberikan saran agar pemerintah ke depannya bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok dalam RPJMN.

Peneliti dari INDEF, Bhima Yudhistira menyarankan agar Pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN tidak perlu tinggi atau sesuai realitas.

"Asumsi pertumbuhan ekonomi baik di RPJMN maupun APBN jangan dibuat terlalu muluk. Yang realistis saja. Toh kita akan hadapi resesi ekonomi paling lambat 2021," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saran selanjutnya yang perlu dilakukan Pemerintah dalam rangka mengejar target pertumbuhan ekonomi adalah mengimplementasikan 16 paket kebijakan ekonomi secara konsisten.



Maksudnya, lanjut Bhima, mengevaluasi 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan Pemerintah agar mengetahui mana yang berjalan dan tidak.

"Lalu, kebijakan fiskal sifatnya harus countercylical, bukan malah sebaliknya, target pajak tinggi di saat ekonomi lesu. Nggak nyambung itu," tambahnya.

Upaya selanjutnya, dikatakan Bhima adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan tanah air. Sebab, dengan situasi kondusif memberikan dampak positif bagi investor maupun masyarakat.

Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, Pemerintah harus membuat kebijakan yang mampu meningkatkan permintaan domestik di tengah kondisi global yang tidak menentu.

Menurut Piter, kondisi perekonomian global yang sedang melambat serta kinerja ekspor nasional yang melambat tidak ditanggulangi oleh kebijakan yang tepat.

"Kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah countercyclical, yang diambil justru pro-cyclical. Dampaknya konsumsi rumah tangga dan investasi cenderung melambat dan tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," ungkap Piter.




(hek/eds)

Hide Ads