Jakarta -
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, per 1 Januari 2020 minyak goreng curah tidak lagi boleh beredar di pasaran karena dianggap tidak sehat dan higienis. Sebagai gantinya, minyak goreng kemasan akan dipasarkan secara masif.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita pun menjelaskan alasan pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah. Pertama tidak memiliki jaminan kesehatan.
Menurutnya pengemasan minyak curah juga tidak terjamin. Bisa saja bahan minyak goreng merupakan campuran dari bahan minyak yang berbahaya, seperti minyak goreng bekas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Minyak goreng curah tidak ada jaminan kesehatan sama sekali. Dia cukup banyak dicampur atau bahkan minyak goreng bekas itu dijual atau hanya diolah diputar saja beberapa kali dan itu menjadi industri yang menurut kami dari sisi kesehatan itu berbahaya bagi masyarakat. Bekas, bahkan ambil dari selokan sebagainya," kata Enggar saat ditemui di Lapangan Sarinah, Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Lantas, apa kata pedagang yang memakai minyak curah? Berita selengkapnya di sini:
Lanjut ke halaman berikutnya
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, peraturan Menteri Perdagangan untuk memasarkan minyak goreng dalam kemasan sebenarnya sudah ada sejak tahun 2014.
"Peraturan Menteri Perdagangan untuk memasarkan minyak goreng dalam kemasan itu sudah ada sejak tahun 2014. Namun kesiapan perusahaan minyak goreng belum siap. Jadi minta pengunduran peraturan Menteri Perdagangan itu 3 kali," kata Sahat Sinaga kepada detikcom, Minggu (6/10/2019).
Mundurnya kebijakan minyak goreng kemasan ini disebabkan masih belum siapnya industri minyak goreng untuk membuat pabrik kemasan. Pemerintah menyadari pengemasan minyak goreng butuh persiapan lebih panjang.
Saat ini, rata-rata kebutuhan minyak goreng curah per tahun berkisar 4,2 juta ton. Jika harus masuk kemasan semua, maka dibutuhkan 2.485 unit pembuat kemasan untuk 87 industri minyak goreng.
"Volume minyak goreng curah per tahun berkisar 4,2 juta ton. Maka perlu waktu untuk pengadaan mesin-mesin pengemasan yang jumlahnya berkisar 2.485 unit untuk 87 industri minyak goreng. Itulah sebabnya produsen minyak goreng melalui Assosiasi minta pengunduran waktu," katanya kepada detikcom, Minggu (6/10/2019).
Sahat Sinaga melanjutkan, kebijakan itu membuat persoalan baru muncul dimana minyak goreng kemasan harganya langsung meroket lantaran butuh banyak filling machine. Untuk itu, PT Pindad bersama Rekayasa Engineering (BUMN) berinovasi menciptakan filling machine sederhana.
Lebih lanjut, kata Sahat, mesin yang bernama AMH-o tersebut nantinya akan disebarkan ke seluruh pelosok-pelosok pasar tradisional untuk melakukan pengemasan dalam 1/4 liter, 1/2 liter dan 1 liter.
"Mudah dioperasikan dan sekaligus ada display HET. Murah dan bisa disebarkan di pelosok-pelosok pasar tradisional langsung ke konsumen (seperti mesin ATM)", tutupnya.
Pemerintah menetapkan seluruh penjualan minyak goreng hanya dalam bentuk kemasan agar harga lebih mudah dikontrol.
Setelah ditetapkan peraturan ini, Enggar memastikan harga akan lebih terjamin. Pemerintah sendiri sebelumnya sudah menetapkan harga seluruh minyak goreng dalam kemasan sebesar Rp 11.000 per liter sesuai Harga Ekonomi Tertinggi (HET).
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 disebutkan juga harga acuan untuk HET minyak goreng curah sebesar Rp 10.500 per liter. Setelah kebijakan pelarangan berlaku, maka acuan harga HET untuk minyak curah pun tak berlaku.
Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong masyarakat agar mengonsumsi minyak goreng kemasan karena lebih terjamin mutu dan keamanannya.
Dia melanjutkan, kebijakan minyak goreng wajib kemasan ini merupakan bagian dari program strategis pemerintah yaitu program peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Menteri Perdagangan Enggar Lukita menyatakan, pemerintah akan menunjuk PT Pindad untuk mengupayakan agar minyak goreng dalam bentuk kemasan bisa dijualbelikan dalam bentuk eceran.
Nantinya, masyarakat bisa membawa masing-masing botol dari rumah. Kemudian botol tersebut akan diisi dengan minyak goreng kemasan yang dijamin lebih higienis.
"Masing-masing membawa botol kemudian langsung diisi botolnya. Dengan begitu selesai dan itu bagus," tambahnya.
Kemendag terus berupaya meningkatkan mutu dan keamanan pangan, salah satunya melalui program pengalihan minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan.
Sumaryono pedagang gorengan di bilangan Jakarta merasa keberatan dengan rencana pemerintah tersebut. Lantaran selama ini ia merasa terbantu dengan keberadaan minyak curah.
"Kalau pakai minyak kemasan, saya harus naikkan harga jualan," kata Sumaryono kepada detikcom, Minggu (6/10/2019).
Dalam sehari, Sumaryono mengaku menghabiskan minyak curah rata-rata sebanyak 2 liter untuk memenuhi kebutuhan jualannya. Dengan minyak curah yang dibelinya seharga Rp 10.000, Sumaryono menjual gorengannya Rp 1000 per buah.
Jika harus memakai minyak goreng kemasan, lanjut Wiyono, akan berdampak pada kenaikan harga dagangannya dan kenaikan itu dikhawatirkan akan membuat pelanggannya beralih ke penjual gorengan lain.
"Harganya pasti nggak Rp 1.000. Takutnya pada nggak mau," lanjut Wiyono.
Terkait kesehatan, menurutnya tidak ada keluhan dari pelanggan selama ia menggunakan minyak curah dan berjualan gorengan.
"Selama ini (pakai minyak curah) tidak ada keluhan dari pelanggan," ujar pria yang hampir 5 tahun berjualan gorengan tersebut.
Halaman Selanjutnya
Halaman