Waspada! Pinjol Bisa Jadi Sumber Pendanaan Teroris

Waspada! Pinjol Bisa Jadi Sumber Pendanaan Teroris

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 17 Okt 2019 09:19 WIB
1.

Waspada! Pinjol Bisa Jadi Sumber Pendanaan Teroris

Waspada! Pinjol Bisa Jadi Sumber Pendanaan Teroris
Foto: Infografis: Fuad Hasyim/detikcom
Jakarta - Masalah yang ditimbulkan oleh pinjaman online atau fintech lending seakan tak ada habisnya. Selain banyak memakan korban masyarakat, polisi pun menduga fintech bisa jadi modus baru pendanaan terorisme.

Bareskrim Polri menilai kegiatan pinjam-meminjam online atau fintech lending bisa menjadi peluang bagi aksi penyaluran dana teroris. Peluang itu khususnya bisa terjadi di fintech ilegal.

Meski belum ditemukan kasus tersebut, peluang itu harus diantisipasi. Salah satunya dengan memperkuat landasan hukum tentang fintech setara undang-undang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca berita selanjutnya untuk informasi selengkapnya.
Kanit Tipideksus Bareskrim Polri, Kompol Setyo Bimo Anggoro mengatakan, pihaknya curiga bahwa ada modus baru dari penyaluran dana terorisme di Indonesia. Polisi khawatir modusnya kini melalui fintech khususnya yang ilegal, lantaran sulit terlacak.

"Bisa saja jadi modus pendanaan terorisme. Kalau pendanaan terorisme melalui perbankan bisa kita lacak. Tapi lewat fintech sulit," ujarnya dalam acara IndoSterling Forum bertajuk Jauhi Jerat Utang Fintech Ilegal di Conclave Coworking, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Bimo mengalanogikan, bisa saja pelaku terorisme di Indonesia berlaku sebagai peminjam di fintech lending ilegal. Kemudian si pemberi dana terorisme berlaku sebagai penyedia platform atau pun investornya.

Menurut catatannya ada beberapa jenis kejahatan dari fintech ilegal yakni kejahatan umum, kejahatan khusus dan kejahatan siber. Nah di kejahatan khusus dikhawatirkan terjadi pencucian uang, pengumpulan dana, berurusan dengan perlindungan konsumen dan pendanaan terorisme.

Bimo mengatakan, Bareskim saat ini mencium sudah adanya sindikat kejahatan fintech. Namun saat ini belum ditemukan wujud dari praktik sindikat kejahatan fintech.

"Sindikat kejahatan fintech rasanya sudah terasa, tapi wujudnya belum nampak," tambahnya.

Oleh karena itu, Bareskrim Polri merekomendasikan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan untuk melakukan harmonisasi regulasi terkait fintech. Lalu juga menerapkan sistem blacklist terhadap penyelenggara fintech ilegal.

Apalagi menurut Bimo saat ini belum ada landasan hukum yang jelas terkait fintech ilegal. Saat ini Polri hanya bisa menangani kasus di level hilir.

"Padahal sebanyak apapun kita tangani di hilir, kalau hulunya masih ada masalah, ya muncul lagi. Kami tidak bisa melakukan penegakan hukum kalau tidak ada landasan hukumnya," katanya.

Kanit Tipideksus Bareskrim Polri, Kompol Setyo Bimo Anggoro menerangkan, aksi pengiriman dana teroris terus berkembang. Setiap kali ada peluang baru bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan.

"Kan modusnya macam-macam. Dulu kirimnya manual pakai kurir. Kemudian uang tunai dikirimkan lewat kapal jasa pengiriman," ujarnya dalam acara IndoSterling Forum bertajuk Jauhi Jerat Utang Fintech Ilegal di Conclave Coworking, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

"Kalau sekarang teknologi ada pengiriman uang cara seperti itu, tidak menutup kemungkinan itu bisa dilakukan. Kita belum menemukan tapi ini potensi fasilitas perekonomian yang bisa dimanfaatkan pelaku," tambahnya.

Dia menganalogikan, bisa saja pelaku terorisme di Indonesia berlaku sebagai peminjam di fintech lending ilegal. Kemudian si pemberi dana terorisme berlaku sebagai penyedia platform atau pun investornya. Modus seperti itu bisa dilakukan tanpa tercium di fintech ilegal.

"Sulit terdeteksi kalau fintech-nya ilegal. Kita tidak tahu data identitas lender-nya, borower-nya sumber datanya. Kalau terdaftarkan kita tahu profil orang-orang di belakangnya," tambahnya.

Menurut Bimo modus itu tidak akan bisa dilakukan di fintech yang legal atau sudah terdaftar di OJK. Sebab data dari sumber dana hingga penerima dana sudah diketahui.

Untuk mencegah agar modus itu tidak terjadi, menurut Bimo perlu dibuat landasan hukum yang jelas setara undang-undang (UU). Sebab selama ini regulasi tentang fintech terpecah-pecah antar kementerian dan lembaga.

"Mereka nggak harmonis (regulasi tentang fintech). Perusahaannya izin ke Kemenkumham, aplikasinya ke Kemenkominfo, kegiatan bisnis ke OJK, aplikasinya lewat Google," terang Bimo.

"Tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan, contoh kalau mau bergerak di bidang fintech wajib izin OJL baru bisa masukin aplikasi ke Google atau izin ke Kominfo, kan belum ada aturannya. Karena nggak ada aturan ya apa yang bisa kementerian dan lembaga yang bisa dilakukan," tambahnya.

Hide Ads