Pengusaha VS Buruh soal UMP 2020 Naik 8,51%

Pengusaha VS Buruh soal UMP 2020 Naik 8,51%

Trio Hamdani - detikFinance
Sabtu, 19 Okt 2019 08:30 WIB
1.

Pengusaha VS Buruh soal UMP 2020 Naik 8,51%

Pengusaha VS Buruh soal UMP 2020 Naik 8,51%
Ilustrasi/Foto: Muhammad Ridho
Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2020 sebesar 8,51%. Kebijakan ini menuai polemik.

Pengusaha menilai kebijakan UMP 2020 naik 8,51%. Bahkan, menurut pengusaha, upah buruh selama ini sudah naik hingga 30%.

Di sisi lain asosiasi pekerja menilai kenaikan UMP 2020 tersebut masih kurang. Mereka meminta bisa naik lagi hingga 20%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mau tahu informasi selengkapnya? Baca di sini:

Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai kenaikan UMP 2020 ini memberatkan karena tidak hanya dilihat dari kenaikan tahun ini ke tahun depan tapi dari tahun-tahun sebelumnya.

"(Kenaikan UMP tahun depan) berat. Itu berat sekali. Jadi tadi saya bilang base line-nya jangan cuma lihat 8,51% tapi sebelum 2016 naiknya kan luar biasa dia (upah buruh)," kata Hariyadi ditemui di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (18/10/2019).

Dia menyebutkan, kenaikan UMP sejak sebelum 2016 sebesar 20% hingga 30%. Kondisi itu dianggap cukup berat oleh pengusaha dengan ditambah kenaikan UMP 8,51% pada 2020.

"Average itu kalau kami menghitung ya di Apindo rata-rata (upah) naiknya selama kurun waktu 5 tahun terakhir itu lebih dari 20%. Bayangin saja, UMP rata-rata di atas 20%, 20% sampai 30%," sebutnya.

"Jadi itu memang berat. Jadi kalau yang memang sudah base line-nya tinggi memang berat. Tapi kalau memang sebelumnya dia upah minimumnya masih di bawah KHL (kebutuhan hidup layak) itu masih mendingan. Jadi masih gradual. Tapi kalau sudah di atas KHL upah minimumnya itu berat," lanjutnya.

Tapi pengusaha yang tergabung dalam asosiasi tersebut akan tetap mematuhi keputusan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Kemnaker telah menetapkan kenaikan UMP 2020 sebesar 8,51%.

"Karena kita ikut PP 78 mau nggak mau kita harus ikut ini," tambahnya.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, dirinya tetap menolak angka yang ditetapkan pemerintah.

"Kami menolak angka yang diberikan oleh pemerintah yang kenaikannya 8 koma sekian persen itu," kata Mirah saat dihubungi detikcom, Kamis (17/10/2019).

Menurutnya, pemerintah melalui Kemnaker masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 78/2015 tentang pengupahan. Kata Mirah, hal itu bertentangan dengan UUD No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

"Sejak lahirnya PP 78 tahun 2015 sikap kami adalah menolak keberadaan PP itu, karena memang berkali-kali kami sampaikan itu bertentangan dengan UUD 13 tahun 2003 yang menghilangkan hak berunding para pekerja dengan pengusaha dan juga pemerintah yang tergabung dalam biaya pengupahan," katanya.

Rupanya, pihak Aspek Indonesia sudah memiliki hitungan sendiri, yang mana kenaikan itu seharusnya berada di angka 20%. Angka tersebut didapat dari hitungan sesuai UUD No.13 Tahun 2003 yang berdasarkan 84 item kebutuhan hidup layak (KHL).

"Kami Aspek Indonesia memiliki nilai atau angka yang sudah kami lakukan secara internal dan juga kalau kami tentu berdasarkan 84 item KHL. Itu kami sudah memiliki angka kenaikan UMP tahun 2020 kurang lebih 20% dari angka yang sekarang," ungkapnya.

Anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang berharap agar para buruh serta serikat pekerja mengerti akan kondisi ekonomi saat ini sehingga tidak lagi meminta kenaikan UMP yang dirasa berlebihan, apalagi sampai harus berdemo. Menurutnya aksi demo malah akan mengganggu iklim bisnis serta investasi yang ada.

"Kita berharap agar teman teman Serikat Pekerja juga mengerti akan kondisi ekonomi saat ini sehingga tidak meminta kenaikan UMP yang berlebihan apalagi melakukan aksi demo yang mengganggu iklim bisnis dan investasi," Jelas Sarman dalam sebuah pernyataan.

Tidak hanya itu, Sarman berpendapat agar polemik UMP segera dihentikan. Menurutnya, akan lebih baik untuk menyudahi polemik UMP dan mulai fokus pada pengembangan SDM.

"Polemik UMP saatnya kita hentikan, lebih baik kita fokus bagaimana agar SDM tenaga kerja kita lebih berdaya saing," kata Sarman.

Sarman juga menjelaskan bahwa bila SDM memiliki daya saing serta kompetensi, dengan sendirinya mereka akan digaji di atas UMP yang ada.

"Instrumennya adalah bagaimana kita memiliki tenaga kerja yang memiliki produktivitas yang tinggi, memiliki skill, kompetensi dan sertifikasi. Jika Tenaga kerja kita sudah (sudah) memiliki keunggulan di atas maka kita yakin mereka akan digaji di atas UMP,dan ini banyak kita lihat diberbagai perusahaan," Jelasnya lagi.

Hide Ads