Lalu seberapa besar euforia pelaku pasar terhadap pemerintahan saat ini? Akankah Jokowi Effect muncul kembali seperti di 2014?
Analis Bina Artha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji menilai Jokowi Effect muncul lagi di pasar modal. Apalagi jika dilihat selama sepekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah menguat 1,07% dan kini berada di posisi 6.265.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun Nafan mengakui bahwa ada juga sentimen positif dari global. Seperti misalnya rencana Bank Sentral AS, The Fed yang akan menurunkan suku bunga, tanda-tanda China akan rujuk dengan AS hingga penundaan Brexit di Eropa.
"Walaupun dari sisi global juga ada dampaknya, jadi menurut saya memang faktor Jokowi Effect turut mempengaruhi penguatan indeks dari sisi teknikal," tuturnya.
Nafan memprediksi IHSG hingga akhir tahun akan ditutup pada kisaran 6.550-6.675 sedangkan nilai tukar berpotensi mencapai Rp 13.900-13.850 per US$.
Kepala Riset Narada Asset Manajemen, Kiswoyo Adi Joe memiliki pandangan berbeda. Dia menilai penguatan IHSG belakangan ini lebih karena faktor lainnya.
"Ya memang biasanya kalau habis pemilu IHSG menguat, bukan karena Jokowi Effect. Sentimen lain ada rencana The Fed menurunkan suku bunga," tuturnya.
Meski begitu, Kiswoyo memprediksi IHSG di akhir tahun bisa mencapai posiis tertinggi di kisaran 6.900-7.000. Sedangkan nilai tukar di kisaran Rp 14.000-14.200 per US$.
Baca juga: Hong Kong Resesi, Bakal Berdampak ke RI? |
Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai, jika memang muncul kembali Jokowi Effect seharusnya sudah terjadi sejak pengumuman pemenang Pemilu 2019.
"Jokowi Effect tidak ada lagi. Kalau ada itu sudah terjadi saat pengumuman pemenang Pilpres dan pengumuman kabinet yang lalu. Pasar mem-price in kemenangan Jokowi sudah cukup lama," terangnya.
Untuk saat ini dia melihat pelaku pasar lebih memperhatikan kinerja Kabinet Indonesia Maju. Ada beberapa nama yang dianggap disambut positif pasar ada juga yang sebaliknya.
(das/ara)