Empat program tersebut yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).
"Untuk tahun 2019 ini saja, sejak Januari sampai 30 September 2019 lalu, BP Jamsostek telah memberikan manfaat JKK untuk 13 ribu kasus kecelakaan kerja dengan biaya klaim sebesar Rp 1,1 triliun," ujar Timboel dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/11/2019)
"Untuk JKm telah memberikan manfaat untuk 23 ribu kasus kematian dengan biaya klaim sebesar Rp 632 miliar. Manfaat JHT untuk 1,6 juta pencairan dengan biaya klaim sebesar Rp 19,4 triliun dan manfaat JP untuk 28 ribu kasus dengan biaya klaim sebesar Rp 82 miliar," jelasnya.
Timboel menjelaskan, manfaat yang besar tersebut bisa diterapkan karena didukung oleh dana kelolaan yang besar. Ia menyebut data per 30 Juni 2019 yaitu untuk program JKK sebesar Rp 32,47 triliun, JKm sebesar Rp 11,78 triliun, JHT sebesar Rp 296,26 triliun, dan JP sebesar Rp. 49,34 triliun.
Dana kelolaan yang besar tersebut, kata Timboel, didukung oleh hasil investasi. Per 30 Juni 2019, hasil investasi dana JKK mencapai Rp 1,28 triliun, JKm sebesar Rp 492,21 miliar, JHT sebesar Rp 11.33 triliun, dan JP sebesar Rp 1,73 triliun.
"Khusus untuk Program JKK dan JKm, dengan dana kelolaan dan hasil investasi yang besar tersebut tentunya manfaat kedua program ini harus terus ditingkatkan untuk memberikan perlindungan lebih besar lagi kepada pekerja dan ahli warisnya," ujar Timboel.
"Mengacu pada pasal 29 dan 36 PP No. 44 Tahun 2015, besarnya Iuran dan manfaat program JKK dan JKm bagi peserta dilakukan evaluasi secara berkala paling lama setiap dua tahun. Besaran iuran JKK dan JKm secara nominal otomatis meningkat dengan naiknya upah minimum dan kenaikan upah tiap tahun, tetapi manfaat JKK dan JKm sudah empat tahun ini tidak naik," jelas Timboel.
Bila mengacu pada peraturan ini, lanjut Timboel, seharusnya manfaat JKK dan JKm sudah naik di tahun 2017 dan 2019. Namun, hingga saat ini kenaikan manfaat tersebut belum juga kunjung tiba. Dengan tidak naiknya manfaat JKK dan JKm, maka pekerja dan ahli waris pekerja tentunya dirugikan.
Timboel juga menjelaskan, saat ini draft revisi PP No. 44 Tahun 2015 yang mengatur kenaikan manfaat JKK dan JKm sudah di meja presiden dan tinggal ditandatangani oleh Presiden. Proses revisi ini sudah memakan waktu empat tahun dan proses penandatanganannya juga lama, mengingat sejak bulan Mei 2019 lalu Menteri Sekretaris Negara sudah meminta beberapa kementerian memberikan paraf atas draft revisi PP No. 44 ini.
"Saya menilai keterlambatan ini disebabkan tidak responsifnya para pembantu presiden mengimplementasikan Pasal 29 dan 36 PP No. 44 tahun 2015," ujar Timboel.
Menurut Timboel, proses lamanya revisi dan penandatanganan draft revisi PP No. 44 tahun 2015 ini berdampak pada manfaat yang diterima pekerja dan ahli waris bagi pekerja yang meninggal dunia.
Beberapa manfaat yang dinaikkan dalam revisi tersebut antara lain adanya pembiayaan home care sebesar Rp 2 juta bagi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan santunan pemakaman naik dari Rp 3 juta menjadi Rp 10 juta.
Lalu ada juga beasiswa dari 1 anak menjadi 2 anak dengan perincian untuk tingkat TK/SD mendapat Rp 1,5 juta per tahun, tingkat SMP Rp 2 juta per tahun, SMA Rp 3 juta per tahun dan perguruan tinggi sebesar Rp12 juta per tahun.
Timboel mencontohkan Asep Kamil, satpam yang meninggal karena ditabrak oleh sebuah minibus pada saat bertugas menjaga Apotek Senopati. BP Jamsostek memberikan santunan kepada ahli waris Asep sesuai ketentuan yang ada di PP No. 44 Tahun 2015.
Rinciannya, santunan meninggal dunia yaitu 48 kali upah sebesar Rp 192 juta, ditambah santunan berkala Rp 4,8 juta, biaya pemakaman Rp 3 juta, dan beasiswa sebesar Rp 12 juta. Lalu ditambah lagi hak atas JHT sebesar R. 4.289.537 dan JP yang akan diberikan secara berkala setiap bulan.
"Untuk kasus kematian Pak Asep tersebut, bila saja Revisi PP No. 44 Tahun 2015 sudah ditandatangani presiden, maka BP Jamsostek akan memberi santunan pemakaman kepada ahli waris Pak Asep sebesar Rp 10 juta dan beasiswa SMA sebesar Rp 3 juta dan untuk kuliah nantinya sebesar Rp 60 juta (5 tahun kuliah)," jelas Timboel.
"Santunan dan beasiswa ini akan lebih membantu ahli waris, khususnya untuk mendukung anak Pak Asep yang tahun depan akan masuk kuliah," imbuhnya.
Kata Timboel, bukan hanya kasus Asep yang dirugikan karena PP No. 44 Tahun 2015 belum juga ditandatangani, tetapi beberapa ahli waris lainnya yang ditinggal jadi tulang punggung ekonominya ketika meninggal dunia.
"Mengingat pentingnya kenaikan manfaat JKK dan JKm ini untuk kesejahteraan pekerja dan ahli warisnya, BPJS Watch berharap presiden segera menandatangani revisi PP No. 44 Tahun 2015 dalam minggu pertama November ini," ucap Timboel.
"Sehingga pekerja dan ahli waris pekerja yang meninggal dunia segera menikmati kenaikan manfaat JKK dan JKm untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan ahli waris pekerja khususnya untuk kelanjutan sekolah anak pekerja hingga perguruan tinggi," jelas Timboel.
Menurut Timboel, untuk tidak mengulangi lagi kelalaian atas pasal 29 dan 36 PP No. 44 Tahun 2015 saat ini, pihaknya mendesak pemerintah untuk melakukan kajian manfaat JKK dan JKm di tahun 2020 nanti. Akhirnya manfaat JKK dan JKm bisa dinaikkan lagi pada tahun 2021, yaitu dua tahun sejak kenaikan di 2019 ini.
Adapun mengingat manfaat JKK dan JKm yang akan ditingkatkan, yang tertuang dalam revisi PP No. 44 Tahun 2015, sudah seharusnya seluruh segmen pekerja lainnya pun turut menikmatinya.
"Program JKK dan JKm bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), serta Pegawai Pemerintah non PNS (PPNPNS) yang selama ini dikelola PT Taspen hendaknya segera diintegrasikan ke dalam program JKK dan JKm yang dikelola BP Jamsostek," ucap Timboel.
"Sehingga seluruh pekerja bergotong royong dan menikmati manfaat yang sangat baik bersama-sama. Saya menilai manfaat JKK dan JKm yang diterima pekerja swasta dan BUMN selama ini lebih baik dari yang diterima PNS, PPPK dan PPNPNS, apalagi dengan kenaikan manfaat JKK dan JKm di BP Jamsostek," jelasnya.
Terakhir, Timboel mengatakan, segmen pekerja informal miskin pun berhak mendapatkan program JKK dan JKm. Pemerintah diharapkan segera menerapkan instrument PBI (Penerima Bantuan Iuran) untuk Program JKK dan JKm bagi pekerja informal miskin di tahun 2021, dengan menganggarkan iuran JKK dan JKm untuk Pekerja informal miskin dalam APBN 2021.
"Penerapan PBI untuk JKK dan JKm ini pun akan berdampak langsung membantu menurunkan defisit bagi Program Jaminan Kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan," ungkapnya.
(ujm/ujm)