Wakil Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar mengungkapkan hal tersebut terjadi karena badan usaha milik negara (BUMN) dan anak usaha yang menguasai proyek infrastruktur.
"Masalahnya, selama ini pekerjaan konstruksi dikuasai BUMN sehingga proyek itu tidak sampai ke pengusaha swasta," kata dia dalam diskusi di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Saiful sebelumnya ada peraturan tentang proyek infrastruktur yang bisa digarap oleh BUMN adalah yang nilainya lebih dari Rp 100 miliar. Namun untuk nilai di bawah Rp 100 miliar juga dikuasai oleh anak usaha BUMN itu.
"Jadi kita pengusaha nasional tidak dapat apa-apa, paling cuma jadi subkontraktor," ujar Saiful.
Dia mengungkapkan saat para pengusaha swasta nasional itu hanya dilibatkan sebagai subkontraktor, pola pembayaran ke mereka pun dilakukan per tiga bulan atau per enam bulan.
Hal ini menyebabkan, para pengusaha yang menjadi subkontraktor itu pun terpaksa harus meminjam kepada pihak bank, akibat lambatnya pola dan mekanisme pembayaran kepada pihak pengusaha swasta yang menjadi subkontraktor tersebut.
Kemudian, apabila para pengusaha swasta nasional suatu saat mendapatkan proyek langsung dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dengan nilai proyek yang biasanya hanya di bawah Rp50 miliar, nyatanya mereka juga masih harus menghadapi kendala yang berasal dari pihak perbankan.
"Pas diajuin ke perbankan, masih juga ada masalah seperti misalnya soal bunga perbankan yang mencapai 12-13% setahun. Bagi pengusaha, itu nggak masuk," kata Saiful.
Selain itu, lanjut Saiful, masalah lainnya adalah tingkat kepercayaan dari pihak perbankan kepada para pengusaha swasta, yang kerap jaminan yang sangat besar kepada para pengusaha.
Meskipun cukup dipahami bahwa tujuan pihak perbankan tersebut adalah demi meminimalisir risiko kredit, namun Gapensi menilai jika hal itu kerap berlebihan dalam praktiknya di lapangan.
Padahal, semestinya bukti berupa surat perintah kerja atau SPK, yang mereka peroleh karena mengerjakan proyek pemerintah tersebut, sudah cukup untuk menjadi aspek penjaminan terhadap kredit yang mereka ajukan. Yang nilainya hingga 120%.
"Dari segi bisnis, ini masalah. Karena keterlibatan anak atau cucu perusahaan dari para BUMN, yang terkesan seperti memonopoli proyek, ini membuat pengusaha swasta di bidang konstruksi banyak yang berhenti," ujarnya.
(kil/fdl)