Mulai beroperasi sejak awal Maret tahun 2019 kemarin atau sekitar 9 bulan lalu, MRT Jakarta yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di bawah Pemprov DKI Jakarta ini berhasil mencatatkan jumlah positif di akhir tahun.
Dalam presentasi 'Mengawal Keberlanjutan' oleh President Director MRT, William Sabandar di Gedung MRT lt 22, Wisma Nusantara, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019), orang nomor satu di MRT Jakarta itu memaparkan sejumlah faktor yang membuat moda transportasi masal itu bertahan dan terus sustain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mengintip Calon Jalur MRT di Ibu Kota Baru |
Tentu bukan rahasia umum, kalau harga tiket MRT untuk fase I ini tak terlepas dari subsidi oleh pihak Pemprov DKI Jakarta. Dari harga asli (Rp 30 ribu), pihak Pemprov DKI Jakarta menalangi sekitar Rp 20 ribu lewat angka subsidi senilai Rp 560 miliar tahun 2019 ini. Pada akhirnya, publik pun membayar harga tiket rata-rata sekitar Rp 10 ribu saat ini.
![]() |
Demi keberlangsungan MRT Jakarta, Wiliam pun harus putar otak untuk mencari pendapatan lain di luar tiket atau pendapatan Non Farebox seperti dari sektor telekomunikasi (2%), iklan (55%), retail/UMKM (1%), naming rights (33%) serta selisih kurs dan bunga (9%).
"Non Fareboxnya harus premium, menggunakan seluruh fasilitas yang bisa digunakan karena MRT yang premium itu," ujar William.
Untuk tahun 2019 ini, pihak MRT Jakarta berhasil meraih pendapatan Non Farebox sebesar 225 M dari empat komponen pendapatan utama mereka. Kemudian juga ada Transit Oriented Development (TOD) atau Kawasan Berorientasi Transit (KBT) yang diproyeksi akan jadi pendapatan terbesar MRT Jakarta.
"Yang terakhir fasilitas pengelolaan TOD, itu yang paling besar," ujar William.
Pihak MRT Jakarta memang telah diberi mandat sesuai Pergub 140 tahun 2017 sebagai operator utama dan Pergub 67 tahun 2019 tentang penyelenggaraan Kawasan Berorientasi Transit. Nantinya TOD juga akan masuk rencana pengembangan kawasan urban serta jadi pengembangan bisnis melalui Non Farebox Busines TOD.
"MRT tak akan beli kawasan, tapi pengelola kawasan. Yang kedua MRT tidak punya tanah, tapi diberikan kewenangan oleh pemerintah seusai Pergub tadi kayak lurahnya. Dapatnya dari pengembang-pengembang di kawasan. Hal pengelolaan itu yang dipegang MRT. Yang bangun developer-nya, tapi ada kewajiban developer untuk membangun," terang William.
Adapun pihak MRT Jakarta telah memberikan bocoran akan lima kawasan di sekitar Stasiun MRT-nya yang akan dibangun dalam waktu dekat, antara lain kawasan Dukuh Atas, Istora-Senayan, Blok-M - ASEAN, Fatmawati dan Lebak Bulus.
"Sekarang Panduan Rancang Kota (PRK) target dirampungkan sebulan, sekarang tinggal proses administrasi. Minimal bulan ini terbit (Surat Gubernur) Desember udah mulai," ungkap William.
Tahun ini, pihak MRT Jakarta telah memproyeksikan mendapat pendapatan sekitar 60-70 milyar dari pendapatan farebox (tiket), pendapatan non farebox dan subsidi dari pihak Pemprov DKI Jakarta. Proyeksinya pun diprediksi meningkat tahun depan.
(rdy/das)