Awalnya, Edhy bercerita soal kekhawatirannya membuat SPBN untuk nelayan. Dia takut setelah dibangun justru nelayan tidak bisa menikmati kemudahan mendapatkan bahan bakar.
Dia mengatakan dalam mengontrol SPBN, bisa jadi nelayan akan berhadapan dengan oknum preman. Bahkan dia menilai pejabat pun tak berkutik kalau berhadapan dengan preman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bercerita di daerah pemilihannya saat menjabat sebagai anggota dewan, kasus SPBN tidak dinikmati nelayan pernah terjadi. Dia menduga ada kongkalikong antara pengirim BBM, preman dan penjaga SPBN.
"Saya pernah ada di Dapil saya, jelek-jelek gini saya di DPR tiga periode. Saya lihat ada dibikin SPBN, malah nelayan ini nggak kebagian. Saya nggak tau tuh apa ada kerja sama di antara si pengirim, preman, atau penjaga SPBN," ucap Edhy.
Edhy pun mengatakan sebetulnya pihaknya bisa saja dengan mudah membuatkan stasiun pengiskan bahan bakar untuk nelayan (SPBN). Pembuatan fasilitasnya, bisa pakai anggaran KKP, ataupun berkoordinasi untuk dibuatkan dengan Pertamina dan Kementerian BUMN.
"Bikin SPBN itu gampang, pakai anggaran KKP bisa atau minta ke Pertamina. Saya bisa koordinasi minta ke Menteri BUMN, nanti dibikinkan di mana misalnya," ucap Edhy.
Baca juga: Buka Tutup Ekspor Benih Lobster |
Edhy mengatakan apabila sudah dibangun, SPBN harus bisa dikontrol dan dikelola secara penuh oleh nelayan. Nelayan pun jangan bermain-main soal jatah.
"SPBN kita bangun harus dikontrol 100% oleh nelayan. Nelayan sendiri juga nggak ada lagi bermain-main. Jatah saya 15 liter, ya yaudah segitu aja misalnya. Lalu, kapal jenis 10 gt ke bawah yang dapat subsidi," kata Edhy.
"Nah 40 gt mau ambil juga ya ambil yang normal harga industri. Yang harga pasar bukan yang subsidi," pungkasnya.
(zlf/zlf)