Rapat dengan DPR, Importir Bawang Putih Ngeluh Kebijakan Wajib Tanam

Rapat dengan DPR, Importir Bawang Putih Ngeluh Kebijakan Wajib Tanam

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 20 Jan 2020 12:41 WIB
Foto: Vadhia Lidyana
Jakarta - Komisi IV DPR RI siang ini menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Aneka Umbi Indonesia (Pusbarindo) untuk membahas target swasembada bawang putih pada tahun 2021.

Rapat ini dihadiri oleh 14 anggota Komisi IV DPR RI dari 5 fraksi. Rapat dengar pendapat ini dibuka oleh Ketua Komisi IV Sudin.

Dalam rapat ini, Ketua II Pusbarindo, Valentino membeberkan sejumlah keluhan dari importir bawang putih atas Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 39 tahun 2019 tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Dalam aturan tersebut, importir produk hortikultura strategis, seperti bawang putih punya tugas wajib tanam usai memperoleh Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wajib tanam itu boleh dilakukan setelah importir meraih RIPH. Padahal, dalam Permentan sebelumnya, yakni Permentan 38 tahun 2017 wajib tanam itu harus dilakukan sebelum importir mendapatkan RIPH.


"Dengan adanya Permentan baru bahwa tidak perlu melakukan wajib tanam awal untuk RIPH tahun berikutnya. Ini akan mempermudah pengusaha mengajukan RIPH," kata Valentino di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/1/2020).

Menurutnya, kewajiban tanam bawang putih pasca memperoleh RIPH ini membuat tingkat kepatuhan para importir justru menurun. Terutama bagi pengusaha atau importir baru. Padahal, importir atau pengusaha yang telah bergerak lama di pasar bawang putih ini sudah mengeluarkan dana besar untuk melaksanakan kewajiban tanam bawang putih di Indonesia.

"Kalau data yang Pusbarindo peroleh pada tahun 2017, tingkat kepatuhan wajib tanam hanya 38%. Di tahun 2018 meningkat sedikit jadi 42%. Untuk 2019 kita belum dapat datanya, tapi kami yakin itu saya rasa akan signifikan penurunannya," papar Valentino.

Selain itu, Valentino juga meminta kewajiban tanam bawang putih ini dihitung daru kuota impor sesuai Surat Perizinan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), bukan RIPH. Pasalnya, menurut Valentino, kuota impor bawang putih dalam SPI akan berbeda dari RIPH, dan biasanya volumenya lebih sedikit dari yang diajukan ke Kementan.

"Yang perlu kita evaluasi adalah pelaksanaan wajib tanam disesuaikan dengan SPI, bukan RIPH. Karena biasanya yang kita ajukan berapa di RIPH, tetapi pada praktiknya SPI tak sesuai dengan jumlah RIPH," terangnya.


Perlu diketahui, kewajiban tanam bawang putih itu ditetapkan sebesar 5% dari kuota impor yang diajukan ke Kementan. Lalu, dari 5% tersebut, pengusaha atau importir lama wajib melaporkan produksinya sebanyak 10% kepada pemerintah. Sedangkan, untuk importir baru wajib melaporkan produksinya sebanyak 25% ke pemerintah.

Dari aturan kuota tersebut juga Valentino menilai bahwa kebijakannya masih kurang tegas terutama untuk pengusaha baru. Ia menyarankan, pengusaha baru wajib melaporkan 50% produksinya ke pemerintah agar ada komitmen penanaman sejak awal.

"Jadi solusi saran dari Pusbarindo, kewajiban tanam awal bagi pengusaha agar diberlakukan kembali untuk perusahaan lama 10%, perusahaan baru 25% atau kalau perlu 50% supaya dia ada komitmen di awal sebelum mengajukan RIPH tahun depan. Saya rasa ini lebih mendidik," tandas Valentino.


Simak Video "Video: Sorotan DPR soal Gaya Komunikasi Menkes Budi yang Dinilai Kurang Bijak"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads