Mengenal PT PANN, BUMN yang 'Sakit' Sejak Era Orba

Mengenal PT PANN, BUMN yang 'Sakit' Sejak Era Orba

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 26 Feb 2020 09:16 WIB
pt pann
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikcom
Jakarta -

PT PANN menjadi sorotan karena tiba-tiba muncul dan mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) dalam jumlah besar yakni Rp 3,76 triliun dari pemerintah.

Besarnya suntikan modal ini, bertujuan untuk menghapus kerugian yang selama ini ditanggung sejak era orde baru. PT PANN juga disorot karena hanya memiliki pegawai sebanyak 21 orang.

Bagaimana cerita sakitnya BUMN yang seharusnya membiayai kapal ini?

Direktur Utama PT PANN Herry Soegiarso Soewandy menjelaskan besaran PMN yang dibutuhkan ini adalah untuk menutupi utang yang sudah ada sejak dulu.

Dia menceritakan pada periode 1994, ada program pemerintah Indonesia dan pemerintah Jerman untuk penyaluran pinjaman dari luar negeri. Goverment to goverment.

"Jadi pinjamannya G to G, dari pemerintah Jerman ke pemerintah Indonesia, baru diteruskan ke PT PANN, tidak langsung itu, bukan berbentuk uang juga. Yaitu dalam bentuk pesawat," kata Herry kepada detikcom, akhir pekan lalu.

Pinjaman ini terdiri dari 10 pesawat berjenis Boeing 737-200 yang dicanangkan sebagai program jetisasi pertama di Indonesia. Nilai pinjaman senilai US$ 99 juta dengan kurs Rp 4.000 saat itu.

Menurut dia, saat itu 10 pesawat ini diperuntukkan untuk maskapai BUMN, yakni Garuda Indonesia. Namun ternyata pesawat tersebut sudah berusia 10 tahun. Saat sampai di Indonesia, Garuda menolak hingga akhirnya pemerintah menempatkan pesawat ini ke maskapai lain.

"Garuda nggak mau, akhirnya pemerintah menempatkan 3 unit di Bouraq, 3 di Merpati, 2 di Mandala dan 2 di Sempati dan Garuda tidak jadi," imbuh dia.

Herry mengaku tidak tahu persis alasan pemerintah saat itu menempatkan pesawat-pesawat ke sejumlah maskapai tersebut. Namun, perusahaan-perusahaan ini akhirnya gagal dan bangkrut. Saat ini masih ada Merpati yang masih di PKPU.

"Pesawat-pesawat itu tidak tahu, trayeknya jelas atau tidak. Sampai akhirnya mereka gagal dan bangkrut. Jadi tidak ada yang melanjutkan bayar cicilan ke PT PANN, jadi kami harus menanggung ke pemerintah. PANN harus tetap bayar, inilah yang mengeruk likuiditas PANN, karena tidak ada hasilnya," ujar dia.

Hingga saat ini pesawat-pesawat tersebut masih ada namun sudah tak layak terbang 3 di hanggar Merpati, 3 di Cengkareng dan 2 di PT Dirgantara Indonesia. Dua unit rusak karena jatuh di Medan dan patah di Malang.

"Jadi tinggal 8 itu bisa dibilang dalam kondisi rongsok lah, karena kefungsiannya sudah tidak bagus lagi, tidak layak terbang," ujar dia.

Mengenal PT PANN, BUMN yang 'Sakit' Sejak Era Orba


Dari dokumentasi perusahaan, pemerintah saat itu menyewakan pesawat ini dengan nilai US$ 45.000 per bulan, namun kemampuan maskapai hanya US$ 22.500.

Setelah proyek 'menyakitkan' tersebut, PT PANN kembali diminta oleh pemerintah untuk menerima pinjaman lagi dari luar negeri. Kali ini pinjaman G to G antara pemerintah Spanyol dan pemerintah Indonesia untuk kapal ikan.

Saat itu, PT PANN juga tidak menerima pinjaman dalam bentuk tunai. Namun 31 unit kapal ikan Mina Jaya yang masih berbentuk shipset (belum dirakit).

"Waktu itu PANN tidak punya kompetensi di kapal ikan. Kami spesialis leasing kapal kargo, atau kapal niaga. Karena ini program pemerintah dan satu-satunya perusahaan pemerintah yang merupakan lembaga pembiayaan saat itu adalah PANN, jadi tetap dijalankan," ujarnya.

Dari 31 unit shipset ini, hanya 14 kapal yang berhasil di rakit dalam tahap pertama. Hal ini karena pada tahap kedua periode 1997-1998 Indonesia mengalami krisis, seluruh suku cadang mengalami kenaikan harga. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga akhirnya perusahaan perakit tidak mampu melanjutkan lagi kerjanya.

Padahal PT IKI saat itu juga mendapatkan dana US$ 12,6 juta untuk biaya perakitan dari PT PANN. Kemudian BPPT juga mendapat US$ 5 juta untuk transfer teknologi.

Jadi memang yang berkoordinasi di proyek ini ada tiga pihak yang ditunjuk langsung oleh pemerintah.

"Hanya 14 kapal yang jadi sampai saat ini, bahan-bahannya masih ada, tapi kalau mau dirakit lagi mungkin sudah tidak layak lagi. Karena sudah sedemikian lama," jelas dia.



Sebanyak 14 kapal ini gagal dijual, karena seluruh harga ditetapkan oleh pemerintah, dan biaya cicilan juga ditetapkan oleh pemerintah.

"Disewakan pun tidak ada yang mau, karena harga sewanya terlalu tinggi dengan harga kapal yang terlalu tinggi kami tidak punya kontribusi apa-apa karena penetapannya oleh pemerintah. Kalau sekarang kita bisa menolak karena tidak kompetitif di pasar," ujar dia.

Dia menjelaskan jadi kegagalan dua proyek itu US$ 182 juta ditambah US$ 99 juta. Itulah utang PANN kepada pemerintah. Hal ini terjadi karena likuiditas perusahaan negatif akibat keuntungan dari bisnis inti pembiayaan kapal tidak dapat menutupi kerugian pembiayaan pesawat dan kapal ikan Minajaya yang merupakan penugasan pemerintah.

Herry menjelaskan sejak itu, PANN terus membukukan kerugian akibat pembayaran macet dan konversi kurs. Pada 2006, PANN sempat mengajukan usulan kepada pemerintah karena perusahaan sudah memiliki modal negatif Rp 3 triliun.

"Operasi PANN saat ini tingal menyelesaikan leasing utang yang lama itu," jelas dia. Hingga pada 2012 PANN mengajukan restrukturisasi utang SLA ke pemerintah dan mengusulkan pokok utang dijadikan modal serta bunga dan denda bunga dicicil.

Pengajuan modal negara (PMN) sudah diajukan sejak restrukturisasi pada 2012. Setiap tahun PANN berupaya mengajukan namun terus mendapat penolakan. Hingga pada 2019 pemerintah menyetujui PANN untuk masuk dalam daftar BUMN yang mendapatkan PMN.

"Kami ajukan sudah sejak 2012, bukan tiba-tiba kami datang minta PMN. Dulu setiap tahun ditolak, hingga kami pelajari apa yang kurang dan akhirnya disetujui untuk PMN 2020 ini," ujarnya.

Dia menjelaskan PMN ini berbentuk non tunai, dan PMN untuk status penggantian buku saja. "Jadi tidak ada uang sepeserpun, dengan PMN ini buku keuangan kami akan menjadi positif, tidak ada uang PMN yang digunakan untuk bayar gaji pegawai," imbuh dia.

Mengutip buku nota keuangan dan APBN 2020 PMN untuk PT PANN memang diberikan dalam bentuk konversi dari pokok utang pinjaman kepada BUMN tahun 1993-1994, untuk menjadi modal.

PMN juga bertujuan untuk memperbaiki struktur permodalan dan rasio utang. Sehingga nantinya PT PANN dan anak usaha bisa menjadi bankable dan mendukung kinerja keuangan dan operasional yang optimal dan melanjutkan kegiatan usaha di bidang pembiayaan maritim dan lini bisnis yang lain.

Berdasarkan surat yang dikeluarkan Menteri Keuangan No S-537/MK.05/2019 tentang Persetujuan Penyelesaian Piutang Negara pada PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) telah disetujui penambahan PMN Non Tunai dari Konversi Pokok Utang SLA pada PT PANN Rp 3,76 triliun melalui UU No 20 tahun 2019 tentang APBN 2020.


Soal Pensiunan

Direktur Utama PT PANN Herry Soegiarso Soewandy menceritakan dia tidak memahami dengan informasi jika perusahaan diisi oleh para pensiunan dan tidak membuka kesempatan untuk generasi muda.

"Mungkin begini, ada satu atau dua orang yang direkrut dari luar. Tapi kalau saya lihat, mereka umurnya bukan kategori pensiunan. Memang kita tarik ke perusahaan, apa iya ketika mereka pernah bekerja di tempat lain kemudian berhenti dan masuk PANN disebut pensiunan? Kan pro hire," kata Hery kepada detikcom akhir pekan lalu.

Dia mengungkapkan, tak ada jumlah pensiunan yang banyak seperti berita yang beredar. "Tapi memang ada orang yang pernah bekerja di sebuah bank BUMN, apakah itu masuk kategori pensiunan?," ujar dia.

Herry juga menambahkan sejak 1994 PT PANN tidak pernah menggemukkan diri. Hal ini karena kondisi keuangan PANN juga tidak memungkinkan.

"Apa itu menggemukkan diri, orang setengah mati cari funding," jelas dia.

Saat ini jumlah pegawai tetap yang ada di PT PANN sebanyak 7 orang termasuk Herry, 12 pegawai outsourcing dan 3 orang pegawai kontrak.

Dia menceritakan jumlah ini terus berkurang, sesuai dengan operasional perusahaan. "Waktu itu banyak yang pensiun, ya saya tidak perlu ganti. Dari mana saya bayarnya? Sebagian pensiun, sebagian minta pensiun dini, sudah saya lepas aja. Daripada PANN menanggung beban, fungsinya hanya satu restrukturisasi yang jalan," ujar dia.

Menurut dia, hingga saat ini perseroan berupaya mempertahankan jumlah pegawai tersebut untuk menekan biaya operasional. Namun, jika seluruh restrukturisasi sudah diselesaikan maka dia siap untuk menambah pegawai sesuai dengan kepentingan bisnis.
"Ada juga yang banyak bilang disuntik besar Rp 3,8 triliun tapi pegawai hanya 7 padahal kan ada 12 outsource dan 3 kontrak, mereka itu pegawai juga. Lagi pula PMN kami hanya ganti buku saja, bukan uang tunai," jelas dia.


Bisnis Hotel

Direktur Utama PT PANN Herry S Soewandy mengungkapkan, hotel tersebut sebenarnya masuk dalam bisnis PANN setelah menjadi multifinance pada 1994. Saat itu pembiayaan hotel masuk dalam kategori pembiayaan lain.

"Dari dokumen yang ada, saat itu ada pengusaha hotel yang minta pembiayaan berbentuk sales and leaseback, saya contohkan hotel di Bandung, namanya Garden Permata Hotel, itu milik salah satu keluarga kaya. Mereka kelola secara syariah," ujar dia kepada detikcom, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan pengusaha tersebut membutuhkan pembiayaan untuk sisi kiri dan sisi belakang hotel. Dengan cara menjaminkan hotel tersebut ke PANN. Jadi ketika angsuran sudah selesai, hotel tersebut di-takeover lagi ke pengusaha tersebut.

"Jadi kami berikan pembiayaan ke hotel tersebut, waktu itu US$ 12 juta, kursnya masih Rp 6.000 atau sekitar Rp 82 miliar tahun 1996. Sekarang itu nilainya Rp 400 miliar, jadi kalau dijual ya bisa untung," jelas dia.

Herry menambahkan, hotel tersebut didapatkan karena sebagai jaminan. Saat pengusaha gagal membayar angsuran, hotel tersebut ditarik dan disita untuk PT PANN.

"Banyak orang bilang, PANN punya bisnis usaha hotel, padahal tidak begitu. Itu barang dagangan, barang sitaan, barang tarikan yang memang masih operasional dan itu harus dijual untuk mengembalikan pembiayaan yang digunakan waktu dulu," imbuh dia.

Menurut Herry hal ini berbeda dengan perusahaan yang sengaja berinvestasi untuk membangun hotel. Saat ini hotel tersebut masih berjalan dan menghasilkan sedikit keuntungan.

Saat ini ada tiga hotel hasil sitaan yang dimiliki PT PANN yakni Bandung Garden Permata Hotel, Grand Surabaya, dan Hotel Nagoya di Batam.


Hide Ads