Sumber kami membeberkan beberapa fakta perihal masalah yang membelit Jiwasraya hingga akhirnya meledak. Pertama manajemen Jiwasraya sebelumnya tidak melakukan pengelolaan investasi dengan prinsip kehati-hatian.
Investasi yang dilakukan manajemen lama terpusat pada saham dan reksadana yang berkualitas rendah. Produk investasi pasar modal yang ditempatkan itu juga terindikasi dilakukan pembentukan harga.
Dari sisi produk, manajemen Jiwasraya yang lama membuat kesalahan dengan mengeluarkan produk yang tidak wajar, seperti JS Saving Plan. Produk itu menawarkan bunga tinggi melebihi kewajaran produk serupa.
Akibat kesalahan-kesalahan tersebut, Jiwasraya kini menanggung utang klaim yang begitu besar. Hingga 17 Februari 2020 total utang klaim Jiwasraya mencapai Rp 16,7 triliun.
Nah dari utang klaim yang menggunung itu sekitar 97%-nya berasal dari produk JS Saving Plan yang mencapai Rp 16,3 triliun terhadap 17.370 pemegang polis. Sisanya utang klaim tradisional korporasi Rp 200 miliar dan utang klaim tradisional ritel Rp 200 miliar.
Baca juga: Virus Baru Masuk RI, Namanya Jiwasraya |
Utang itu juga membuat keuangan Jiwasraya berantakan. Perusahaan mengalami defisit ekuitas atau modal hingga Rp 29 triliun.
Lalu, selain utang klaim, Jiwasraya juga tercatat memiliki utang polis tradisional mencapai Rp 35 triliun. Perusahaan memiliki aset hingga Rp 22 triliun, tapi aset itu tidak likuid dan berkinerja buruk.
Parahnya lagi, risk based capital (RBC) atau rasio solvabilitas Jiwasraya mencapai -1.307%. Rasio ini untuk mengukur kesehatan finansial perusahaan asuransi. Angka itu jauh melewati batas minimal RBC yang ditetapkan dalam peraturan OJK 120%.
(das/dna)