Jakarta -
Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) yang bekerja di PT Alpen Food Industry (AFI) selaku produsen es krim AICE menyampaikan telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan buruh di perusahaan tersebut.
Ketua SGBBI Indra Permana menjelaskan hingga saat ini sudah ada sekitar 300 buruh yang mendapatkan surat PHK. Surat tersebut dilayangkan kepada karyawan yang melakukan mogok kerja.
"Kemarin yang terupdate sih, belum terupdate semuanya, baru 300-an. Sebagian yang sudah dapat, sudah dapat panggilan surat PHK, surat pengunduran diri yang mogok. Nah mungkin sebagian banyak yang belum sampai (surat PHK-nya). Tapi sudah dapat surat panggilan pertama dan panggilan kedua," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (6/3/2020).
Dia menjelaskan saat ini memang baru 300an karyawan yang mendapatkan surat PHK. Tapi jumlah yang dipastikan kena pemutusan hubungan kerja lebih besar dari itu.
"Iya semuanya kan pasti mengarah ke situ semua. Cuma karena (surat PHK) kan dikirim ke kampung halaman rata-rata alamatnya. Jadi ada yang sudah sampai, ada yang masih di jalan kemungkinan," ujarnya.
Perusahaan, lanjut dia beralasan PHK dilakukan karena para buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah. Pihaknya pun keberatan.
"Iya karena mogok kerja tidak sah alasannya. Ya kami keberatan, soalnya kan yang bisa memutuskan sah atau tidak sah kan putusan pengadilan," tambahnya.
Baca di halaman selanjutnya jawaban pihak perusahaan.
PT Alpen Food Industry (AFI) selaku produsen es krim AICE buka suara soal pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan buruh di perusahaan tersebut. Menurut Legal Corporate Alpen Food Industry Simon Audry Halomoan hal itu karena para buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah.
Pihak perusahaan sudah 2 kali melakukan pemanggilan terhadap buruh untuk kembali bekerja. Namun menurutnya para buruh tak mengindahkan hal tersebut.
"Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mogok tidak sah, kita sudah kirim surat 2 kali maka dinyatakan mengundurkan diri," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (6/3/2020).
Hal itu sesuai pedoman pada Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003. Di ayat 1 pasal 6 dijelaskan, mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir.
Ayat 2 menyatakan pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pada ayat 3 dijelaskan pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan maka dianggap mengundurkan diri.
"Bahwa Alpen sudah mengeluarkan pengumuman imbauan kembali bekerja, bahkan sudah saya bacakan di depan publik. Kemudian sudah kirim surat 2 kali, ya apalagi upayanya?," jelas dia.
Terkait jumlah karyawan yang dianggap mogok kerja secara tidak sah, dia memastikan tidak sampai 620 orang seperti informasi yang beredar. Tapi jumlahnya memang sampai ratusan orang.
"Tapi kalau 620 seperti yang dinyatakan di media terkait yang melakukan aksi mogok tidak sah, ya saya pastikan itu angkanya sangat besar sekali," tambahnya.
Apa yang sebenarnya bikin buruh mogok kerja? Klik halaman berikutnya.
Para buruh yang bekerja di PT Alpen Food Industry (AFI) selaku produsen es krim AICE melakukan mogok kerja hingga berujung terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka melakukan aksi tersebut semata-mata karena ingin mendapatkan upah layak.
Juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) Sarinah mengungkapkan pihak perusahaan telah menurunkan upah buruh. Awalnya, pada 2014-2016, PT AFI menjalankan bisnis dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 1520 atau makanan terbuat dari susu.
Kemudian KBLI tersebut diubah menjadi KBLI es krim pada 2017. Itu membuat nilai upah buruh mengalami penurunan dari upah sektor II menjadi upah minimum kabupaten (UMK).
"Iya, jadi masalahnya itu awalnya kan karena penurunan upah," kata dia selaku pihak federasi yang membawahi Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) di PT AFI saat dihubungi detikcom, Jumat (6/3/2020).
Terkait penurunan upah, jika mengacu pada upah minimum 2019, buruh kehilangan upah Rp 280 ribuan. Itulah, lanjut dia, yang membuat buruh memutuskan berperjuang agar perusahaan memberikan tambahan upah.
Namun, pihaknya mencatat, setiap tahun perusahaan hanya menaikkan upah sebesar Rp 5.000. Pada 2019, upah yang berlaku di PT AFI adalah UMK ditambah Rp 10 ribu. Pada gilirannya, perusahaan menaikkan upah karyawan. Hanya, sebagian besar buruh, yang merupakan operator produksi, dinilainya hanya merasakan manfaat kenaikan yang sangat kecil.
Sementara itu, pihaknya hanya berharap mendapatkan tambahan upah Rp 280-300 ribu dari UMK.
"Mereka yang berusaha mengubah kondisi kerja malah di-PHK, termasuk yang hamil," tambahnya.