Jakarta -
Sejumlah tarif yang diatur pemerintah harusnya mengalami kenaikan. Namun, karena sejumlah sebab, tarif itu ditunda atau bahkan dibatalkan kenaikannya.
Dalam catatan detikcom, setidaknya ada dua tarif yang ditunda atau dibatalkan kenaikannya. Berikut daftarnya:
Tarif Listrik
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian ESDM telah menetapkan tarif listrik untuk periode April hingga Juni 2020. Kementerian memutuskan, tarif listrik periode tersebut tetap, padahal seharusnya sudah naik.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menyampaikan, pada bulan November 2019 hingga Januari 2020 parameter ekonomi makro rata-rata per tiga bulan menunjukkan perubahan.
Nilai tukar dolar Amerika (US$) menjadi Rp 13.939,47, nilai ICP menjadi US$ 65,27/barel, tingkat inflasi rata-rata 0,29%, dan harga patokan batu bara Rp 783,13/kg. Dia bilang, pemerintah mempertahankan tarif untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Mengikuti empat parameter makro tersebut seharusnya diberlakukan penyesuaian tarif tenaga listrik. Akan tetapi, Pemerintah mempertahankan agar tarif listrik tidak naik pada periode April-Juni demi menjaga daya beli dan daya saing," kata Agung mengutip laman Kementerian ESDM, seperti ditulis Selasa (10/3/2020).
Berikut tarif tenaga listrik untuk triwulan II tahun 2020:
- Rp1.467,28 /kWh untuk pelanggan tegangan rendah, yaitu R-1 rumah tangga kecil dengan daya 1300 VA, R-1 rumah tangga kecil dengan daya 2200 VA, R-1 rumah tangga menengah dengan daya 3.500-5.500 VA, R-1 rumah tangga besar dengan daya 6.600 VA ke atas. Kemudian, B-2 bisnis menengah dengan daya 6.600 VA sd 200 kVA, P-1 kantor pemerintah dengan daya 6.600 VA sd 200 kVA, dan penerangan jalan umum.
- Rp 1.352/kWh untuk rumah tangga daya 900 VA (R-1/900 VA-RTM)
- Rp 1.114,74/kWh untuk pelanggan tegangan menengah, yaitu B-3 bisnis besar dengan daya di atas 200 kVA dan P2 kantor pemeritah dengan daya di atas 200 kVA
- Rp 996,74/kWh untuk pelanggan tegangan tinggi,yaitu I-4 industri besar dengan daya 30 MVA ke atas.
Tarif Tol
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono bakal menunda penyesuaian tarif tol di tahun 2020 ini. Ia menilai, kenaikan tarif tol perlu ditunda di tengah kondisi perekonomian sedang tidak baik.
"Saya kira ini, kalau saya ini kondisi ekonominya juga lagi enggak normal. Jadi jangan di-treat sebagai kondisi normal. Jadi kalau pun sudah waktunya naik, saya akan hold dulu. Karena ini semua kondisinya tidak normal," kata Basuki di kantornya, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Basuki sendiri tak merujuk pada tekanan virus corona soal kondisi perekonomian ini. Namun, ia mencontohkan kondisi sektor pariwisata yang tertekan di wilayah Bali. Menurutnya, fenomena ini membuktikan ekonomi Indonesia sedang tidak baik.
"Karena ekonominya kan. Hotel di Bali gajinya separuh. Saya harus empati dengan itu," ujar Basuki.
Akan tetapi, ia belum bisa memberi tahu sampai kapan penundaan ini dilakukan. Menurutnya, Kementerian PUPR masih perlu meninjau dampak kenaikan tarif tol jika tetap dilakukan di tengah ekonomi yang sedang tertekan.
"Kita lihat. Nanti makanya, kalau itu memang sudah waktunya (bakal dinaikkan). Tapi kalau masih dalam kondisi tidak normal gini, saya akan ambil kebijakan," tutup dia.
Iuran BPJS Kesehatan
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Kasus bermula saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) keberatan dengan kenaikan iuran itu. Mereka kemudian menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan. Gayung bersambut. MA mengabulkan permohonan itu.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro saat berbincang dengan detikcom, Senin kemarin (9/3/2020).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan," ucap majelis.
Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1