Jakarta -
Penyebaran virus corona (COVID-19) di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Kini, jumlah pasien di Indonesia yang dinyatakan positif corona mencapai 34 orang. Ditambah lagi, World Health Organization (WHO) telah menetapkan corona sebagai pandemi global.
Hal ini menimbulkan dampak yang meluas, salah satunya terhadap perekonomian baik global, maupun Indonesia sendiri. Pasar saham, sektor perdagangan, pariwisata, dan sebagainya jadi korban 'keganasan' virus tersebut.
Pertama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (12/3) IHSG terkoreksi 258 poin atau 5,01% ke level 4.895 pada pukul 15.33 WIB dan seluruh transaksi langsung dihentikan saat itu juga. Penutupan perdagangan bursa saham ini ditutup lebih cepat dari biasanya pukul 16.15 WIB.
Kebijakan penghentian perdagangan atau trading halt itu diambil BEI dengan menindak lanjuti Surat Perintah Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan tanggal 10 Maret 2020 perihal Perintah Melakukan Trading Halt Perdagangan di Bursa Efek Indonesia Dalam Kondisi Pasar Modal Mengalami Tekanan.
Atas keputusan itu, jika terjadi penurunan yang sangat tajam atas dalam 1 hari bursa yang sama, maka diterapkan trading halt 30 menit jika mengalami pelemahan 5% dan dilakukan lagi 30 menit jika mengalami penurunan 10%. Selain itu juga diterapkan trading suspend bila IHSG turun hingga 15%.
Pada perdagangan kemarin IHSG memang cukup ambles. IHSG dibuka negatif dengan meninggalkan level 5.000, tepatnya terkoreksi sebanyak 185 poin (3,59%) ke level 4.968. Indeks LQ45 juga melemah 42 poin (5,2%) ke 776.
Hingga sesi I berakhir, IHSG turun hingga 151 poin (2,9%) ke level 5.002. Sedangkan indeks LQ45 turun 25 poin (3,13%) ke level 794.
IHSG terus merosot hingga pukul 15.33 dan mengalami trading halt pada level 4.895. Sementara indeks LQ45 turun 50 poin atau -6% ke level 769,641.
Perdagangan saham ditransaksikan 421.049 kali dengan nilai Rp 5,9 triliun. Sebanyak 39 saham naik, 398 saham turun, dan 80 saham stagnan.
Selain 'menggerogoti' IHSG, penetapan corona sebagai pandemi global juga menyebabkan harga minyak dunia anjlok.
Harga Minyak Anjlok 4% Gara-gara Corona Jadi Pandemi Global
Harga minyak dunia (crude) menurun dalam dua hari berturut-turut. Penurunan harga minyak dunia yang cukup signifikan itu terasa usai WHO menetapkan virus corona sebagai pandemi, dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menutup penerbangan dari dan ke Eropa.
Terlebih lagi konflik harga antara Arab Saudi dan Rusia. Arab Saudi berjanji akan meningkatkan produksi demi merebut pangsa pasar.
Harga minyak AS tercatat turun 4,2% ke posisi US$ 31,60 per barel. Sementara, minyak mentah Brent yang menjadi patokan global, jatuh 4,6% menjadi US$ 34,14 per barel, sedikit di atas posisi terendah sebelumnya.
Minyak mentah dunia berakhir turun sekitar 50% dari harga tertinggi yang dicapai pada Januari lalu. Dilansir dari Reuters, Kamis (12/3/2020), harga ini merupakan posisi terburuk sejak Perang Teluk pada tahun 1991.
Selain itu, perbedaan harga antara minyak Brent jangka pendek dan jangka panjang LCOc1-LCOc6 juga melebar. Hal ini memicu pedagang untuk menyimpan minyaknya dan bertaruh harga akan semakin tinggi.
Menilik larangan terbang Trump untuk maskapai dari dan ke Eropa juga memukul pasar saham global. Larangan ini menghantam maskapai AS.
Tentunya, dengan pelarangan tersebut, pemesanan jet dan pembelian bahan bakar avtur juga menurun. Persoalan ini kembali menampar pasar minyak yang sebelumnya sudah tersungkur.
"Ini adalah apa yang terlihat seperti hal yang positif terhadap pasokan, dan guncangan negatif akan permintaan," kata Lachlan Shaw, Kepala Penelitian Komoditas di National Australia Bank di Melbourne.
Tak sampai di situ, penyebaran corona juga membuat industri pariwisata babak belur.
Pengusaha Hotel dan Restoran Rugi Rp 21 T Gara-gara Corona
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan sampai hari ini kerugian pariwisata dari hotel dan restoran mencapai US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21 triliun (kurs Rp 14.000).
"Potensi kerugian untuk sementara waktu dari Januari sampai hari ini perkiraan kami paling tidak sudah mengalami kerugian US$ 1,5 miliar," kata Hariyadi dalam diskusi Dampak Corona Terhadap Sektor Pariwisata, Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Kerugian itu baru berdasarkan perkiraan wisatawan China yang menghabiskan sekitar US$ 1.100 dalam sekali perjalanan ke Indonesia. Ditambah lagi wisatawan lokal juga menahan bepergian.
"Jadi itu baru asumsi yang hilang separuhnya saja itu sudah US$ 1,1 miliar. Lalu ikutannya dari negara-negara yang membatalkan, lalu juga dari domestik membatalkan kepergian dan sebagainya itu sudah US$ 400 juta sendiri," sebutnya.
Hariyadi mengungkapkan, okupansi hotel di tengah serangan virus corona ini hanya mencapai 30%. Hal itu sudah terjadi di beberapa wilayah seperti Jakarta, Manado dan Bali.
Hal itu membuat perusahaan harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan mengurangi jumlah karyawan.
"Mengenai PHK sebetulnya kalau di hotel bukan murni PHK tapi yang dilakukan adalah kita mempunyai tiga jenis kategori karyawan yaitu karyawan harian, karyawan kontrak, dan karyawan tetap. Yang sekarang terjadi adalah semua karyawan harian itu tidak dipakai. Nah yang karyawan kontrak dan permanen sekarang sudah mulai seperti di Bali itu masuknya giliran jadi sebagian dirumahkan," sebutnya.
Dengan begitu, perusahaan bisa memangkas ongkos untuk pegawai hingga 50%. Hal ini terpaksa dilakukan agar bisnis tetap bisa berjalan.
"Sekarang perusahaan mencoba menurunkan 50% biaya tenaga kerjanya karena perusahaan harus menjaga cashflow," ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan dampak virus corona terhadap industri tekstil dan farmasi?
Gawat! Bahan Baku Tekstil & Farmasi Cuma Cukup Sampai April
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Tengah (Jateng), Kukrit Suryo Wicaksono mengungkapkan, penyebaran virus corona di berbagai negara berdampak buruk bagi kelangsungan usaha di bidang industri. Tak terkecuali sektor industri di Jateng, di mana pelaku usaha mulai kesulitan mendapatkan bahan baku.
Menurut Kukrit, ada dua sektor yang sangat mencemaskan kondisi ini, yakni industri farmasi dan tekstil. Sektor farmasi dan tekstil ini terancam terganggu produksinya lantaran bahan baku yang ada diperkirakan akan habis pada akhir April mendatang. Apalagi, hampir 50% bahan baku dari perusahaan tekstil dan farmasi berasal dari China.
"Dari kunjungan ke beberapa daerah di Jateng, kami mendapatkan info bahan baku untuk tekstil dan farmasi hanya sampai dengan April. Setelah itu, mereka tidak lagi memiliki persediaan bahan baku," ujarnya Kamis (12/3/2020) usai melantik pengurus Kadin Kabupaten Brebes di Pendopo setempat.
Sebagai langkah antisipasi, Kukrit akan mencari sumber bahan baku alternatif agar roda industri di Jateng tetap berjalan. Mengingat sebulan lagi produksi terancam lantaran kehabisan bahan baku.
"Jadi hingga saat ini kami masih terus mencari bahan-bahan pengganti untuk farmasi dan tekstil yang sebagian besar bahan bakunya dari China," jelasnya.
Sumber bahan baku alternatif ini harus segera dicari demi keberlangsungan bisnis. Jika bahan baku habis, maka produksi terhenti. Dampak terburuk dari hal tersebut yakni PHK massal.
"Karenanya, kami dari Kadin dan Pemprov Jawa Tengah setiap hari duduk bersama untuk mencari solusi-solusi dalam mengatasi permasalahan ini," imbuh Kukrit.
Penyebaran virus corona juga menyebabkan harga-harga komoditas pangan naik drastis. Pasalnya, fenomena panic buying menyebabkan stok langka dan harga pun melonjak. Salah satu komoditas pangan yang harganya naik semenjak virus corona memasuki Indonesia yakni jahe dan gula.
Pedagang Makanan Pusing Gara-gara Harga Jahe dan Gula Melonjak
Harga bahan empon-empon jenis jahe semakin pedas bagi pedagang warung di Kabupaten Klaten sebab menyentuh Rp 52.000/ kg. Selain jahe, harga gula pasir yang juga terus merangkak naik Rp 18.000/ kg dikeluhkan pedagang kaki lima (PKL).
"Sejak marak masalah corona harga jahe tak masuk akal. Dari biasanya paling Rp 20.000 ini sudah Rp 52.000/ kg di pasar," ungkap Trisno, pedagang warung angkringan di jalan Yogya-Solo, Kecamatan Delanggu pada detikcom di warung, Kamis (11/3/2020) siang.
Trisno mengatakan harga jahe sebesar itu pun kadang sulit barang. Dampaknya merepotkan pedagang kecil seperti dirinya.
"Pedagang repot sebab musim hujan wedang jahe banyak dicari. Tapi mau menaikkan harga jadi Rp 5.000 jelas tidak tega," kata Trisno.
Lebih repot lagi, terang Trisno, harga gula pasir yang jadi komponen utama minuman ikut naik dari Rp 12.500 jadi Rp 18.000/ kg. Pedagang tambah pusing sebab pembeli tidak semua paham keadaan.
"Yang paham kondisi ya tidak keberatan kalau harga minuman naik. Tapi yang tidak pasti kaget," imbuh Trisno.
Pemilik warung di kompleks Pemkab Klaten, Poniyem mengatakan hal serupa. Harga jahe dan gula menyusahkan pedagang kecil.
"Padahal gula dan jahe harus tersedia. Mau menaikkan harga juga repot," ungkap Poniyem kepada detikcom.
Menurut Poniyem, agar tetap bertahan berjualan dirinya mengurangi stok jahe dari biasanya 2 kg, kini sehari hanya 1 kg. Untuk gula pasir, terpaksa mengurangi sendok di sajian.
Kabag Perekonomian Pemkab Klaten, Cahyo Dwi Setyanto mengatakan Pemkab sudah koordinasi dengan Bulog. Stok gula pasir masih ada 15 ton.
"Kita sudah koordinasi dengan Bulog ada 15 ton. Tapi itu untuk tujuh kabupaten/ kota di wilayah eks karesidenan Surakarta," kata Cahyo saat dikonfirmasi detikcom.
Simak Video "Video WHO soal Ilmuwan China Temukan Virus Corona Baru Mirip Penyebab Covid-19"
[Gambas:Video 20detik]