Stimulus Ekonomi di Tengah Wabah Corona Sudah Tepat?

Stimulus Ekonomi di Tengah Wabah Corona Sudah Tepat?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Minggu, 15 Mar 2020 07:13 WIB
Virus corona: Indonesia persingkat prosedur, Malaysia bersiap yang terburuk dalam hadapi Covid-19
Foto: BBC World
Jakarta -

Pemerintah kembali menerbitkan insentif jilid II dalam rangka menunjang perekonomian dalam negeri yang tengah dihimpit wabah virus corona. Insentif tersebut yakni penundaan pemungutan pajak selama enam bulan untuk pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, dan 25. Pemerintah juga memberikan relaksasi bea masuk impor industri.

Menurut Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, langkah pemerintah sudah cukup tepat untuk menjaga ekonomi. Namun, ada yang perlu ditambahkan.

Yose menuturkan, dalam kondisi saat ini tingkat konsumsi dalam negeri akan tertekan. Padahal, porsi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 56%. Untuk itu, pemerintah perlu menggenjot daya beli masyarakat salah satunya penanggungan atau pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

"Sebenarnya beberapa tindakan itu sudah cukup tepat. Tetapi menurut saya bisa ditambah. Yang pertama, fiskal ini kan PPh dikurangi. Kalau menurut saya untuk meningkatkan konsumsi itu bukan PPh. Porsinya terhadap pertumbuhan konsumsi itu kecil efeknya. Yang lebih besar sebenarnya PPN," kata Yose ketika dihubungi detikcom, Sabtu (14/3/2020).

Ia menuturkan, insentif untuk PPN ini akan meningkatka daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi akibat corona.

"Jadi turunkan PPN. Dan ini yang dilakukan pada tahun 2009 kemarin sebenarnya, sudah pernah dilakukan untuk meningkatkan demand. Dan cukup berhasil sebenarnya, permintaan dalam negeri, karena orang beli barang dengan harga 10% lebih murah, itu terasa langsung dalam konsumsi mereka. Dan ini bisa meningkatkan simulasi ekonomi lebih lanjut," papar Yose.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Stimulus Ekonomi di Tengah Wabah Corona Sudah Tepat?


1. Pemerintah Jangan Terlalu Hati-hati

Yose mengakui, dalam pengurangan PPN ini tentunya pemerintah akan kehilangan penerimaan pajak yang cukup besar. Namun, hal tersebut perlu diambil di tengah kondisi ekstrem ini.

"Tapi saya pikir dalam kondisi sekarang kita jangan terlalu fokus pada pengendalian fiskal. Ini masalah krisis yang memang kita masih belum tahu, krisis yang datangnya bukan dari krisis finansial yang memerlukan kehati-an dalam fiskal. Kalau krisis finansial mungkin ada yang namanya langkah hati-hati. Tapi kalau kondisi sekarang mungkin nggak perlu hati-hati di dalam finansial," tegasnya.

Bahkan, ia juga menyarankan pemerintah membuka batas defisit APBN. Ia menuturkan, pemerintah sebaiknya melebarkan batas defisit APBN selama 5 tahun menjadi 3%. Sehingga, di tahun 2020 pemerintah bisa menambahkan utang jika dibutuhkan dalam penanganan corona.

"Mengubah batas defisit yang sekarang ini kan 3%, diubah menjadi rata-rata 5 tahun 3% gitu misalkan. Sehingga tahun ini lagi dibutuhkan jadi 3,5% juga boleh, asalkan tahun-tahun berikutnya atau tahun sebelumnya itu kurang dari 3%.Jadi butuh extreme measures kalau memang kondisinya dibutuhkan. Jadi jangan takut-takut lagilah pesan saya kepada pemerintah kalau dalam bidang ekonomi," imbuh dia.

Terakhir, ia juga meminta pemerintah tak hanya fokus terhadap stimulus untuk mencegah dampak corona terhadap perekonomian.

"Walau bagaimana pun tindakan kesehatan adalah yang paling utama. Jangan karena tujuan ekonomi aksi-aksi kesehatan malah dikurangi. Salah satunya transparansi dan informasi mengenai kondisi yang ada sekarang ini, itu juga diperlukan tentunya untuk langkah-langkah antisipatif," imbuh Yose.

2. Jangan Tunda Impor

Pemerintah telah menetapkan stimulus dalam menangani dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian. Salah satunya dalam pemenuhan kebutuhan pangan di dalam negeri. Mulai dari importasi bawang putih, gula, daging, dan bawang bombai.

Namun, menurut Yose, pemerintah juga harus mulai memikirkan langkah untuk mengimpor beras. Ia sendiri tahu bahwa pemerintah menargetkan panen raya di bulan Maret-April, ini, dan diperkirakan hingga Agustus 2020 stok mencapai 22 juta ton.

Yose mengatakan, sejauh ini target panen beras selalu tak tercapai. Ia juga menyinggung soal pemenuhan data pangan yang belum sempurna.

"Selama ini target panen nggak pernah terpenuhi. Kita tahu sendiri bagaimana perbaikan data yang baru dilakukan belakangan ini. Jadi masih banyak seluk beluk yang kita masih nggak tahu. Ini sekarang ada extreme situation, ada situasi yang mendesak," ungkap Yose kepada detikcom, Sabtu (14/3/2020).

Ia mengatakan, importasi beras memang hanya 5% dari total konsumsi. Namun, angka itu akan jadi permasalahan krusial jika tak terpenuhi nantinya dengan produksi dalam negeri.

"Tapi tetap saja kalau 5% nggak terpenuhi wah itu orang sudah sakit tapi nggak bisa makan. Ini lebih parah. Jadi Kementerian Pertanian (Kementan) harus cepat-cepat memberikan rekomendasi, kalau yang bisa impor, ya impor sekarang, jangan tunda-tunda lagi. Sekali lagi extreme situation requires extreme measures," tegas Yose.

Selain itu, ia berpendapat bahwa keputusan impor gula dan bawang bombai yang saat ini ditetapkan sangat terlambat. Sementara, harga sudah jauh naik. Maka dari itu, sebelum harga beras naik di saat masa panen masih jauh, ia menyarankan importasi beras dilakukan.

"Seperti bawang bombai itu kan masalahnya bukan karena virus corona ini. Tapi karena sejak November sudah tidak ada rekomendasi impor yang dikeluarkan. Sudah telat. Dan sekarang ini sejak 2 bulan terakhir, harga beras dunia sudah naik 2% artinya kita sudah harus mulai secure impor beras. Kalau nggak mau harganya naik tinggi nanti. Karena sudah ada tren kenaikan harga beras baik disebabkan kebutuhan meningkat maupun supply berkurang. Indeks harga gula dunia juga sudah meningkat. Jadi kita harus cepat-cepat secure," tutupnya.


Hide Ads