Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bertemu sejumlah pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI). Mereka mengeluhkan adanya moratorium perizinan kapal yang membuat penangkapan udang tak bisa dilakukan dengan maksimal. Terutama di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 yang terbentang dari Laut Aru-Arafura dan Laut Timor bagian timur.
Ketua HPPI, Endang S Roesbandi memaparkan penangkapan udang tak bisa maksimal antara lain karena larangan penggunaan pukat udang serta kapal yang digunakan saat menangkap harus di bawah 100 GT. Para pengusaha pun beralih dari dari penangkapan ke pengolahan udang dengan bahan baku dari tangkapan nelayan.
Baca juga: Geger Corona, PNS KKP Kerja dari Rumah |
"Tapi hasil dari trammel net (nelayan), kepalanya cacat, sungutnya hilang, ada yang matanya hilang. Tidak sempurna akhirnya untuk ekspor tidak bisa first grade," jelas Endang dalam keterangan tertulis, Selasa (17/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini cukup disayangkan karena berdasarkan kajian HPPI, potensi udang di wilayah tersebut WPP 718 mencapai 50.250 ton dengan nilai Rp 10 triliun per tahun.
"Seluruh kapal dari HPPI lulus anev (analisis dan evaluasi). Namun karena sebagian besar kapal buatan luar negeri, tidak bisa operasional," kata perwakilan HPPI, Djoko Kusyanto.
Menyikapi keluhan tersebut, Edhy memastikan akan melakukan kajian terlebih dahulu. Ia mengatakan, kebijakan yang akan dihasilkan akan lebih mengutamakan kepentingan bersama.
"Kasih kami waktu, kami tidak akan bikin peraturan semena-mena," kata Menteri Edhy.
Kendati akan mengevaluasi regulasi, Edhy mengingatkan agar para pelaku usaha juga memiliki komitmen dalam hal pelestarian, terutama udang. Bahkan, ia menegaskan akan terus mengawal WPP 718 dari illegal fishing.
"Kalau Indonesia, semangat memilikinya ada. Ini semata-mata menjaga laut kita untuk lestari," pungkas Edhy.
(prf/hns)