Bank Dunia menyatakan dalam skenario terburuk, perekonomian China bisa stagnan alias mandek. Terahkhir kali ekonomi China mengalami hal yang serupa 44 tahun yang lalu. Ekonominya juga semat terganggu pada resesi global 2008-2009 dan di 1990.
Analis dari UBS dan Goldman Sachs baru-baru ini memangkas estimasi pertumbuhan China tahun ini masing-masing menjadi 1,5% dan 3%.
Dilansir dari CNN Bussines, Kamis (2/4/2020), Ma Jun, anggota Komite Kebijakan Moneter di Bank Sentral China mengatakan sulit bagi China untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi sampai 4% dan 5%.
Mengingat ketidakpastian yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi, China merasa sulit untuk menentukan berapa banyak stimulus fiskal dan moneter untuk dikeluarkan
"Sulit untuk bahkan merealisasikan pertumbuhan antara 4% dan 5%. Banyak yang memperkirakan pertumbuhan akan turun menjadi hanya 1% atau 2% tahun ini," kata Ma Jun kepada Harian Ekonomi China, mengutip dari CNN Bussines.
Target pertumbuhan yang tidak realistis dapat mendorong pemerintah daerah untuk menggeser investasi infrastruktur ke dana untuk mengurangi pengangguran atau meningkatkan mata pencaharian masyarakat dalam jangka pendek.
Kabinet China Selasa lalu mengumumkan lebih dari 3 triliun yuan setara Rp 7.082 triliun (Rp 2.360) untuk dana bantuan yang dibagikan ke pengusaha kecil dalam bentuk tunai.
Pemberian uang tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah dan pengangguran dari bulan Maret hingga Juni. Pemerintah tidak merinci berapa banyak yang akan diberikan, tetapi mengatakan langkah itu diperkirakan akan menguntungkan lebih dari 67 juta orang.
People's Bank of China (PBOC) akan menyediakan tambahan Rp 2.360 triliun (1 triliun yuan) untuk bank-bank kecil dan menengah, dan memotong jumlah uang tunai yang harus mereka miliki sebagai cadangan. Kedua langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan pinjaman kepada usaha kecil dan menengah (UKM).
Sebelumnya, bank sentral telah mengalokasikan pinjaman tambahan senilai lebih dari Rp 3.894 triliun (1,65 triliun yuan). Pemerintah juga telah mengalokasikan setidaknya Ro 27 triliun (116,9 miliar yuan) dalam bantuan keuangan dan stimulus yang ditujukan untuk memerangi virus corona.
"Kami percaya meningkatkan bantuan keuangan untuk perusahaan (terutama UKM) dan rumah tangga yang terkena pandemi harus menjadi kebijakan ekonomi dan sosial terbaik saat ini," kataTing Lu, Kepala Ekonom Cina dari Nomura, Rabu (1/4/2020).
Sebuah survei swasta yang diterbitkan Rabu lalu menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur China sedikit meningkat pada bulan Maret, ketika pabrik dibuka kembali setelah penutupan yang luas dan pembatasan perjalanan selama wabah corona.
Indeks Manajer Pembelian manufaktur Caixin / Markit naik menjadi 50,1 bulan lalu dari rekor terendah 40,3 pada Februari. Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi, di bawah 50 kontraksi.
Capital Economics memperkirakan PDB riil China menyusut sebanyak 16% pada kuartal pertama, dan memprediksi kontraksi 3% untuk 2020 secara keseluruhan.
China menghadapi dua tantangan besar saat mencoba bangkit kembali, yakni melemahnya permintaan asing akibat pandemi global dan akan berpotensi adanya krisis global gelombang kedua akibat masih mewabahnya virus corona.
Baca juga: Duh! Ekonomi RI Bisa Minus Gara-gara Corona |
Nomura memperkirakan ekonomi China akan tumbuh hanya 1% pada tahun 2020, menyebabkan jutaan kehilangan pekerjaan.
Tao Wang, kepala ekonom Cina untuk UBS, mengatakan Beijing kemungkinan akan mengumumkan lebih banyak dukungan untuk individu, pasar tenaga kerja dan sistem perawatan kesehatan, investasi infrastruktur, dan tambahan pemotongan suku bunga.
"Selain itu, kami berharap pemerintah akan menurunkan target pertumbuhan PDB tahun ini secara signifikan atau fokus pada kontrol virus korona," kata Wang.
(ang/ang)