Cerita Lara Tukang Cukur hingga Ibu Kantin yang Kena Dampak Corona

Cerita Lara Tukang Cukur hingga Ibu Kantin yang Kena Dampak Corona

Soraya Novika - detikFinance
Sabtu, 11 Apr 2020 13:30 WIB
Sudah puluhan tahun Pak Ebit menjadi tukang cukur. Dia biasanya mangkal di pingkir rel kereta api di kawasan Roxy, Jakarta.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Wabah virus Corona telah memukul roda usaha sektor informal. Kalangan ini mengaku kebingungan mencari pendapatan di saat warga lainnya membatasi aktivitas sosial. Bahkan, ada yang benar-benar tak dapat pemasukan sekali sejak imbauan work from home (WFH) diberlakukan.

Setidaknya itu yang dialami oleh Kartini, seorang Pedagang Kantin salah satu sekolah swasta di Bandung. Menurut Kartini, sejak aktivitas belajar mengajar di sekolah dihentikan, dirinya sudah tidak mendapat pemasukan sama sekali.

"Saat dapat kabar seluruh kegiatan belajar akan diliburkan, saya hari itu merasa lemas, cemas, karena income yang saya dapat hanya dari kantin tersebut dan saya pun selama ini belum pernah berjualan online, jadi saya hanya betul-betul mengharapkan dari berjualan di kantin sekolah saja," ujar Kartini kepada detikcom, Sabtu (11/4/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai ibu tunggal, ia merasa kebingungan mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya di bulan-bulan selanjutnya. Saat ini dirinya masih mampu bertahan hidup dengan tabungan yang kian hari makin menipis.

"Pendapatan untuk beberapa bulan ke depan saya tidak tahu harus dapat dari mana. Mungkin untuk ke depan saya bisa menggunakan tabungan untuk bisa menghidupi anak saya, karena saya bingung harus berbuat apa dan mulai dari mana untuk dapat menyokong hidup saya dan keluarga," katanya.

ADVERTISEMENT

Tak hanya pedagang kantin saja yang menjerit atas musibah ini. Di sisi lain, ada Aziz, tukang cukur di Jakarta Barat yang merasakan imbas dari aturan social distancing di tengah pandemi ini.

"Pekerjaan kami sudah dipastikan melakukan kontak fisik dengan orang lain, sangat besar bagi kami menjadi carrier ataupun korban positif virus ini, tidak ada opsi bagi kami melakukan imbauan pemerintah untuk WFH, kan tidak bisa juga cukur secara online. Sehingga kami diharuskan tutup dan berharap semua ini cepat selesai dan kami bisa bekerja kembali secara normal," kata Aziz kepada detikcom.

Aziz mengaku selama diterapkannya imbauan WFH, para pekerja di bidang ini dipastikan tidak memiliki pemasukan sama sekali. Sebab, sistem penerimaan gaji bukan berdasarkan gaji pokok, namun berdasarkan komisi per kepala.

"Bidang jasa seperti barbershop ini kebanyakan tidak memiliki gaji pokok, hanya komisi per kepala sebagai penghasilan kami untuk mencukupi segala kebutuhan keluarga kami. Sudah dipastikan selama kami tutup kami tak memiliki penghasilan sama sekali," sambungnya.

Meskipun ada barbershop yang buka demi bertahan di tengah situasi ini, pendapatan dipastikan menurun hingga 80% dari biasanya.

"Walaupun ada sedikit dari kami tetap buka untuk tetap bekerja tapi ada penurunan lebih dari 80% dari jumlah customer dari hari-hari biasa, seberapa banyak orang yang mau disentuh kepalanya oleh orang lain di situasi seperti ini? Cukup? Jelas sangat tidak dibanding dengan risikonya yang nekad tetap melakukan kontak dengan orang lain dan hanya mendapatkan untuk kebutuhan makan saja," keluhnya.

Selain itu, Aziz mengaku, bidang pekerjaannya ini sama sekali tidak menerima perhatian atau bantuan dari pemerintah. Sehingga, selain kehilangan pendapatan, pengeluaran yang tetap ada membuatnya semakin khawatir untuk menjalani kehidupan di bulan-bulan berikutnya.

"Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah daerah ataupun pusat di bidang saya bekerja. Saya tidak bisa bekerja, tidak ada penghasilan, saya juga punya istri dan anak berusia 5 bulan yang harus dinafkahi, tempat tinggal pun harus tetap bayar, cicilan motor tetap berjalan, mau pulang kampung takut jadi carrier untuk orang tua dan warga di kampung sana karena saya dari Jakarta, zona merah virus ini," tutupnya.

Ada lagi Elsa Sinambela, pemilik les privat yang kewalahan karena bisnisnya tak bisa jalan sejak sekolah diliburkan. Sehingga, banyak guru-guru les privat yang menggantungkan pendapatan dari bisnis miliknya itu ikut-ikut terkena imbas.

"Perumahan tempat tinggal para murid banyak yang di lockdown,sehingga yang bukan warganya dilarang masuk. Dari saat itu les privat tidak lagi berjalan. Bulan April ini sama sekali tidak ada jadwal les. Guru-guru saya pun terkena dampaknya, karena gaji mereka didapat berdasarkan berapa sesi mereka mengajar, padahal saat ini mereka tidak bisa mengajar," paparnya.

Untuk itu, senada dengan harapan para pekerja informal lainnya, Elsa berharap wabah ini dapat segera teratasi. Sehingga, segala aktivitas sosial dan bisnis bisa berjalan seperti sedia kala.

"Saya hanya berharap semoga semuanya cepat berlalu. Selain butuh biaya yang mungkin bulan Mei ini tidak ada pemasukan sama sekali, saya sudah rindu dengan murid-murid saya," pungkasnya.

Pekerjaan atau bisnis Anda terdampak Corona dan PSBB? Kehilangan pekerjaan karena PHK, tidak bisa berjualan karena PSBB, atau gaji dipotong karena bisnis lesu?

Jangan cuma diam, ceritakan kepada kami kisah Anda melalui email ke redaksi@detikFinance.com dengan judul Dampak Corona dalam bentuk tulisan, foto, maupun video. Pemerintah harus tahu dampak dari kebijakan yang diambil sejak darurat Corona. Sertakan nomor telepon aktif sehingga reporter kami bisa menghubungi.


Hide Ads