Beda Krisis Corona dengan Krisis 1998 Versi Bos BCA

Beda Krisis Corona dengan Krisis 1998 Versi Bos BCA

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 24 Apr 2020 10:10 WIB
Foto udara lalu lintas kendaraan menuju Jakarta di tol slipi, Jakarta, Jumat (10/4/2020). Dalam rangka percepatan penanganan COVID-19, Pemprov DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku Jumat (10/4) hingga 14 hari kedepan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pras.
Foto: ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Jakarta -

Penyebaran COVID-19 menekan laju roda perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Corona menimbulkan krisis namun berbeda dengan krisis-krisis yang pernah terjadi sebelumnya.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan krisis yang terjadi akibat penyebaran COVID-19 ini berbeda dengan krisis keuangan yang terjadi beberapa tahun lalu.

"Begini, kalau krisis keuangan biasanya dalam beberapa minggu atau bulan puncaknya sudah bisa dilewati. Seperti tahun 1998, kejadian di Mei lalu Juni dan Juli sudah beres. Kalau ini (krisis Corona di Indonesia) terjadi akhir Februari, Maret, April dan belum bisa dilihat titik terangnya," kata Jahja saat berbincang dengan detikcom.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyampaikan, perbedaan kerusakan akibat krisis saat ini lebih kecil dibandingkan krisis 1998. "Kalau 98 itu parah banget, ada pembakaran segala. Dana-dana hilangnya cepat sekali. Bisa dilihat kan sekarang dana pihak ketiga (DPK) masyarakat masih ada, bahkan masih nambah," imbuh dia.

Menurut dia, memang kondisi ini akan memberatkan sisi kredit perbankan. Karena banyak perusahaan atau nasabah yang kesulitan sehingga harus melakukan restrukturisasi. Namun lagi-lagi belum ada kepastian kapan kondisi ini akan selesai.

ADVERTISEMENT

Namun menurut Jahja kondisi krisis akibat virus ini memang tidak bisa diprediksi dan dianalisa sebelumnya. Kemudian mitigasi risikonya juga tak bisa disusun dengan detil. Dia mengungkapkan harus ada cara yang dibuat agar bisnis menemukan sisi normal yang baru agar tetap bergerak.

"Ke depan juga belum tahu akan seperti apa, mau analisanya bagaimana tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi 10 tahun lagi. Memang harus optimis juga menjalani bisnis," jelas dia.

Dia mencontohkan untuk meminimalisir risiko portofolio harus dibagi-bagi dan tidak ada dalam satu keranjang. Sehingga harus benar-benar cermat memperhitungkan segala risiko yang tidak bisa ditebak.

"Harus tetap semangat menjalankan bisnis, kalau takut nanti akan ada pandemi lagi atau kejadian apalagi, siapa yang mau jalan dan bergerak? Namanya bisnis harus siap berhasil dan siap tumbang karena ketidakpastian. Jadi memang tidak bisa dilihat dia hebat sebelumnya dan dia tiba-tiba jatuh. Ini mengingatkan kita agar potofolio dibagi-bagi dan tidak bertumpu pada satu tempat, bisnis mengajarkan itu," jelas dia.




(fdl/fdl)

Hide Ads