Bank Indonesia (BI) telah mengucurkan Rp 503,8 triliun quantitative easing untuk menjaga likuiditas perekonomian. Selama periode awal tahun hingga April 2020.
Quantitative easing ini adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar. Jika quantitative easing yang dikeluarkan sudah sebanyak itu, kok belum terlihat di perekonomian nasional?
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan hal ini karena kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena kebijakan moneter bank sentral ini tidak bisa langsung masuk ke sektor riil, tetapi butuh kebijakan atau stimulus fiskal seperti yang sekarang sudah diumumkan pemerintah melalui menteri keuangan," kata Perry dalam video conference di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Dia mengungkapkan, stimulus fiskal seperti jaring pengaman sosial, insentif industri, subsidi kredit usaha rakyat (KUR), kartu pra kerja, program keluarga harapan dan bantuan pangan non tunai (BPNT).
Sehingga menurut Perry, pemerintah perlu mempercepat stimulus fiskal tersebut agar quantitative easing bisa mengalir dari perbankan ke sektor riil. Hal ini agar kegiatan ekonomi bisa dengan cepat bergerak.
Perry menambahkan selain kebijakan fiskal juga dibutuhkan kebijakan restrukturisasi kredit dari bank kepada nasabah. Kebijakan ini diatur oleh regulator keuangan.
"Agar quantitative easing ini efektif ke sektor riil. Dibutuhkan koordinasi yang baik antara pemerintah, BI dan regulator keuangan. Memang pak presiden menyampaikan program pemulihan ekonomi yang dirumuskan agar bisa mengalir dan nendang ke sektor riil," jelasnya.
Simak Video "Bank Indonesia Umumkan BI-Rate Tetap 5,75%"
[Gambas:Video 20detik]