Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan daya beli masyarakat atau tingkat konsumsi rumah tangga akan merosot tajam pada kuartal II-2020, atau lebih lemah dibandingkan dengan realisasi daya beli pada kuartal I-2020.
BPS mencatat tingkat konsumsi rumah tangga merosot ke level 2,84% di kuartal I-2020 jika dibandingkan pada kuartal IV-2020 yang sebesar 5,02%.
"Kuartal II kita harus antisipasi lebih dalam lagi jatuhnya," kata Sri Mulyani saat raker dengan Komisi XI DPR via virtual, Jakarta, Rabu (6/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Potensi pelemahan daya beli pada kuartal II-2020, kata Sri Mulyani dikarenakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) semakin luas dan tidak seperti pada kuartal sebelumnya yang hanya berlaku di Jabodetabek.
Menurut dia, PSBB yang berlaku di Jabodetabek saja sudah membuat daya beli masyarakat merosot tajam. Wanita yang akrab disapa Ani ini menjelaskan andil tingkat konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar Rp 9.000 triliun atau 56%, di mana sekitar Rp 5.000 triliun berasal dari Pulau Jawa.
"Orang kalau di rumah cuma makan saja, tidak keluar transport. Kalau tahun lalu kan konsumsi itu Rp 9.000 triliun lebih, Pulau Jawa 55% lebih dari Rp 5.000 triliun, sekarang kalau Rp 5.000 triliun di rumah ya tidak akan sampai, memang dampaknya berat bangat dalam kuartal II, makanya Presiden bilang fokusnya ke situ," ungkap dia.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi penyebab daya beli masyarakat alias tingkat konsumsi rumah tangga lesu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat daya beli masyarakat hanya 2,84% di kuartal I-2020. Angka tersebut turun drastis dibandingkan dengan kuartal I-2019 yang sebesar 5,02%.
"Merosotnya konsumsi rumah tangga disebabkan oleh PSBB," kata Kepala BKF Kemenkeu, Febrio Kacaribu dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (5/5/2020).
Febrio mengatakan, dalam komponen konsumsi rumah tangga masih ada beberapa yang mengalami peningkatan, seperti konsumsi kesehatan, pendidikan, perumahan, serta perlengkapan rumah tangga. Namun itu semua tidak mampu mengimbangi penurunan konsumsi pakaian, alas kaki, jasa perawatan, serta transportasi dan komunikasi.
Lebih lanjut Febrio menjelaskan dalam pelaksanaan pembatasan aktivitas, masyarakat mengurangi konsumsi barang-barang non-pokok. Sinyal pelemahan konsumsi ini juga terlihat pada menurunnya indeks keyakinan konsumen dan penjualan eceran pada Maret 2020 sebesar -5,4% (YoY).
(hek/fdl)