Pemerintah berencana untuk mencetak ratusan ribu hektar (Ha) lahan persawahan baru guna menangkal krisis pangan seperti yang diprediksikan oleh Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization/FAO).
Pengamat Pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah menilai kebijakan itu harusnya untuk jangka panjang. Bukan untuk menjawab prediksi FAO yang dinilai darurat di masa pandemi COVID-19.
"Yang dikatakan FAO itu untuk jangka pendek krisis pangan gara-gara ada pandemi COVID-19. Dalam jangka panjang memang perubahan iklim jadi ancaman semua negara salah satunya Indonesia. Tapi respons Indonesia yang cetak sawah itu untuk jangka panjang bukan untuk pandemi ini, jadi semacam ada salah respons kebijakan," kata Rusli kepada detikcom, Kamis (7/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, program cetak sawah ini bukan jawaban atas permasalahan karena hasilnya baru akan terlihat beberapa tahun mendatang. Sedangkan masalah krisis pangan akibat adanya pandemi sudah di depan mata.
"Krisis pangan ini kan sudah di depan mata tapi instruksinya adalah cetak sawah yang notabenenya nggak bisa dinikmati dalam beberapa bulan ke depan. Hasilnya belum bisa dilihat beberapa bulan ke depan," jelasnya.
Rusli tidak menampik jika ada kekhawatiran presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap ramalan FAO. Sehingga dirinya langsung merespons cepat ingin cetak sawah baru. Namun respons yang diambil itu dinilai kurang tepat untuk jangka pendek.
"(Jokowi) khawatir saya yakin karena surplus (beras) kita cuma 2,8 juta ton per tahun itu sangat kecil sekali. Kita akan aman kalau surplus berasnya 8 juta ton itu untuk makan kita 3 bulan ke depan sembari menunggu panen raya di bulan Maret tahun berikutnya," ucapnya.
(fdl/fdl)